Penghapusan Pasal Aborsi di RUU TPKS Berpotensi Kriminalisasi
- bbc
Kemudian aborsi harus mendapat persetujuan dari ibu yang hamil, dengan izin suami (kecuali korban perkosaan) dan penyedia layanan kesehatan.
Tapi fakta di lapangan, kata Novita Sari, layanan yang dibutuhkan korban pemerkosaan untuk mendapatkan aborsi aman, belum ada.
"Makanya kami desak untuk masuk dalam UU TPSK agar ada layanan, sehingga korban tahu proses memilih aborsi aman dan menghindari kriminalisasi. Jadi UU Kesehatan dan UU TPSK saling berintegrasi dalam implementasinya," katanya.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan, penghapusan itu mengabaikan pengalaman dan realitas para korban dalam kekerasan seksual yaitu perkosaan.
"RUU ini berangkat dari kasus-kasus nyata. Dari 15 jenis kekerasan lalu dipotong sembilan dan katanya menjadi empat, termasuk pemaksaan aborsi dan perkosaan, padahal kasus-kasus itu sungguh-sungguh ada, lalu mengapa dibuang?
"Menurut saya kalau menginginkan perubahan norma yang lebih baik, melindungi korban, jangan alasan itu menjadi kendala. Artinya kalau tidak masuk, UU ini ada ketidaksempurnannya, sangat disayangkan," katanya.
Apa alasan pemerintah dan DPR?
Pemerintah dan DPR sepakat menghapus pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dan aborsi dalam draf RUU TPKS.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.
"Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita menggunakan undang-undang yang sudah existing.