Siapa Penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949?
- bbc
Barulah setelah Reformasi 1998, muncul buku Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta (2000) oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, yang berusaha "memberikan perspektif baru".
"Tim Penulis menjelaskan bahwa mereka tidak hendak melakukan Hagiografi atau mengkultuskan peran seorang tokoh, seperti buku-buku yang telah ada sebelumnya," demikian keterangan dalam naskah akademik.
Sri Margana dan timnnya juga menganalisa beberapa buku lainnya, seperti karya sejarawan George McTurnan Kahin, berjudul Nasionalisme & Revolusi (2013) dan buku karya Julius Pour, Daarstoot Naar Djokja, Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (2010).
`Tidak tonjolkan heroisme satu individu tertentu`
Dan, dalam kesimpulannya, naskah akademik itu menyatakan banyak tokoh, baik sipil atau militer, dan bahkan masyarakat biasa, yang terlibat dalam SU 1 Maret 1949.
Itulah sebabnya, kajian itu menyimpulkan pula peristiwa penting itu tidak bisa direduksi hanya pada sejumlah nama, seperti yang dinarasikan selama Orde Baru.
Hasil kajian ini kemudian menjadi masukan kepada pemerintah pusat yang kemudian menerbitkan Keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Di dalam Kepres itu disebut nama Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman. Tidak ada nama-nama lain, seperti Suharto, Nasution atau lainnya.
Di sinilah kemudian melahirkan polemik, seolah-olah pemerintah menghapus nama Suharto dalam peristiwa itu.
Menkopohukam Mahfud MD mengatakan, nama Suharto dan nama-nama lainnya tetap disebutkan dalam naskah akademik.
Ketua tim kajian akademik, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Margana, mengakui ada peran Suharto dalam serangan itu, sehingga namanya dicantumkan dalam naskah akademik.
"Memang SU 1 Maret 1949 diperintahkan untuk dipimpin oleh Pak Harto. Itu jelas, itu dalam fakta sejarah tak bisa dihapus, dan dalam naskah akdemik dengan tegas kita sebutkan [nama Suharto]," katanya.
Namun demikian, menurutnya, yang lebih penting untuk ditekankan adalah, tidak ada peran tunggal atau dominan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949:
"Kita harus bisa menampilkan historiografi yang demokratis, agar tidak terlalu menonjolkan satu sosok, heroisme satu individu tertentu.
"Tapi harus juga memperlihatkan kontribusi atau kolektivisme masyarakarat," tandas sejarawan UGM, Sri Margana, yang juga ketua tim kajian akademik SU 1 Maret 1949.
[removed]!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0 t=e.createElement(n);t.async t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a[removed].insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,>