Fakta Tersembunyi di Balik Konflik Poso, 577 Meninggal Dunia

Ilustrasi kerusuhan.
Sumber :
  • commondreams

VIVA –  Konflik Poso aalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Bermula dari adanya sebuah peristiwa bentrokan kecil yang terjadi antarkelompok pemuda sebelum akhirnya melebar menjadi sebuah kerusuhan yang membawa-bawa soal agama.

Di mana jika sebuah konflik sudah membawa-bawa agama tentu bisa menimbulkan masalah yang semakin melebar. Konflik yang terjadi dari 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001 ini masih teringat jelas di ingatan. Tentu saja ini menjadi luka lama yang pernah terjadi sejak tahun 1998 hingga 2001.

Adapun beberapa faktor yang bisa memicu pecahnya kekerasan, salah satunya itu persaingan emonomi yang terjadi antaran penduduk asli Poso.  Di mana mayoritas dari mereka beragama Kristen beserta para pendatang lainnya. Mulai dari para pedagang-pedagang Bugis dan para transmigran asal Jawa yang memeluk agama Islam.

Selain itu adanya persaingan yang keap terjadi antarpejabat pemerintah daerah mengenai posisi birokrasi dan pembagian kekuasaan tingkat kabupaten antara umat Kristen dan Islam yang tidak seimbang. Dari terjadinya konflik Poso ini terdapat 577 korban tewas, 384 mengalami luka, 7.932 rumah pun ikut hancur dan 510 fasilitas umum pun ikut hangus dan terbakar.

Kerusuhan tersebut pada akhirnya pun berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino antara kedua belah pihak yang berkonflik di Malino Sulawesi Selatan dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Semenjak ditanganinnya deklarasi tersebut nyatanya mampu mengurangi kekerasan dan angka kriminal pun jadi berkurang dalam kurun waktu waktu beberapa tahun setelah terjadinya kerusuhan.

Berikut ini ada beberapa fakta terkait konflik Poso yang terjadi sejak tahun 1998 hingga 2001, mulai dari pemicu yang melatarbekalangi terjadinya kerusuhan, korban jiwa  dan lainnya yang bisa dibaca berikut ini.

Dilatarbelakangi Persaingan Ekonomi

Poso merupakan salah satu dari delapan kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah. Kabupaten Poso ternyata memiliki populasi yang mayoritasnya agama Muslim di kota, dan agama Kristen untuk di sekitar desa pesisir, masyarakat adat yang berada di dataran tinggi.

Selain penduduk beragama Muslim, ternyata di Poso juga ada para pendatang orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan serta Gorontalo bagian Utara. Poso ternyata menjadi sasaran utama dari adanya program trasnmigrasi yang dibuat pemerintah. 

Bus Angkut Puluhan Santri Gontor Masuk Jurang di Sulteng, 3 Orang Tewas

Di mana adanya pemindahan warga dari daerah padat penduduk yang didominasi mayoritas orang Jawa beragama Muslim dan Lombok, yang mayoritasnya beragama Hindu.

Di mana daerah pada penduduk tersebut akan dipindahkan ke daerah yang sepi penduduknya. Dari kondisi itu, paa akhir tahun 1990an, penduduk di Poso mayoritas Muslim dengan persentasi di atas 60 persen.

Usai Bebas dari Tahanan, Istri Muda Ali Kalora Malah Hidup Mengenaskan

Yang kemudian para pendatang itu membuat sebuah persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso beragama Kritsten dengan pendatang Bugis yang beragama Islam.

Meskipun konflik pada awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang Bugis beragama Muslim dan etnis Pamona yang mayoritas Kristen, nyatanya terdapat banyak kelompok lain yang ditarik melalui ikatan etnis, budaya, atau ekonomi.

Kapolri Nyatakan Tahun 2022 Kelompok MIT Poso Telah Diberantas Seluruhnya

Kerusuhan Poso Terjadi Tiga Periode

Poso Periode 1

Pada periode pertama, konflik Poso bisa terbilang singkat dan terbatas. Meskipun banyaknya iringan-iringan truk yang membawa kelompok tertentu dari daerah lain untuk bergabung dalam kerusuhan.

Pada periode pertama ini sangat bertepatan dengan pecahnya seluruh rangkaian kekerasan serta unjuk rasa di Indonesia. Periode pertama ini terjadi pada Desember 1998, tepat pada malam natal 24 Desember 1998 ada seorang pemuda asal Lambogia bernama Roy Runtu Bisalemba yang menikam dari seorang Muslim bernama Ahmad Ridwan.

Dari saksi mata dan informasi yang beredar, ada pihak Kristen yang menyebutkan jika Ridwan pemuda Muslim itu melarikan diri ke masjid setelah ditikam oleh pemuda beragama Kristen.   Pemuda muslim itu mencari perlindungan diri dengan pergi ke masjid. Tapi selain informasi yang beredar, ada ceritanya versi Muslim. 

Di mana terjadinya serangan terhadap seorang pemuda Muslim yang sedang tidur pulas di halaman depan masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan bahwa korban itu sedang melakukan salat atau bahkan menjadi imam.

Setelah kejadian kerusuhan tersebut, akhirnya para tokoh pemuka agama dari dua belah pihak bertemu. Di mana keduanya sepakat, akar dari masalah itu ternyata ada pada minuman keras.

Pihak Polres Poso pun dengan tegas menyita serta menghancurkan ribuan minuman keras itu. Dan suatu hari kedepan, ditemukannya sebuah toko yang dijaga oleh pemuda beragama Kristen. Di mana mereka bertemu dengan pemuda beragama Muslim yang hendak ingin menyegel toko tersebut.

Dari pertemuan itulah berujung pada sebuah bentrokan antara kedua belah pihak.  Kemudian, terjadi lagi pada 27 Desember 1998 bentrokan yang terjadi antaran sekelompok orang beragama Kristen yang menaiki truk, dipimpin oleh Herman Parimo, yang merupakan salah satu anggota Poso.

Parimo sendiri merupakan salah satu anggota dari GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah). Dalam kronologi terjadinya kerusuhan Poso periode pertama ini terdapat banyak spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah Poso yang kebanyakan beragama Kristen.

Panglima Komando Militer Daerah Wirabuana menyatakan jika, yang memanas-manasi kerusuhan tersebut merupakan delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan.  Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun ikut menyatakan jika hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa kerusuhan di Poso terjadi bukan karena ketegangan agama atau etnis saja. 

Mereka menyebut jika kerusuhan serta kekerasan yang terjadi karena adanya "miskomunikasi" dan mengklaim bahwa tidak ada pejabat lokal yang terlibat dalam upaya untuk mengembalikan kedamaian. 

Poso Periode II

Sudah lewat lebih satu tahun merasakan masa-masa tenang, peristiwa politik dan hukum yang terjadi pada bulan April 2000 menimbulkan lagi ketegangan. Periode kedua berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang sama dengan periode pertama. Tapi untuk kali ini wilayah umat beragama Kristen yang harus menderita kerusakan. 

Pada bulan April 2000 tersebut telah dimulainya sebuah persidangan mantan bupati Afgar Patanga. Dalam persidangan itu, mantan bupati Patanga didakwa telah menyalagunakan dana program kredit pedesaan. Konon katanya, sebagian dana tersebut dipakainya untuk menyewa massa demi menyerang gedung pengadilan dan membakar dokumen-dokumen penting.

Pada tanggal 15 April memuat sebuah pernyataan dari Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, yang memprediksi jika ada lebih banyak kekerasan yang terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.

Bentrokan pada April-Mei

Hari depanna, ada seorang pemuda Muslim yang mengatakan telah berhasil diserang oleh kumpulan pemuda Kristen 
dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti telah terjadi serangan.  Pihak Islam pun akhirnya membalas karena tidak terima telah mendapatkan serangan. Dari situ terjadilah pertarungan antara pemuda Kristen dan pemuda Muslim.

Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar.  Peristiwa ini memaksa Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari Palu.

Kedatangan BRIMOB

Di tengah-tengah adanya penyerangan itu, pada 17 April anggota Brimob dengan tidak sengaja menembaki kerumunan massa yang menewaskan Mohammad Yusni dan Yanto, serta melukai delapan pemuda Muslim lainnya.

Poso Periode III

Baru tiga minggu sejak periode kedua selesai, periode ketiga yang menurut beberapa pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah. Periode ini didominasi oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok merah Kristen terhadap warga Muslim.

Di samping bentrokan langsung dengan kelompok putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tidak berkepentingan. Dari hasil wawancara yang dilakukan Human Rights Watch, jika ternyata para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut.

Muncul banyak kabar miring pada awal bulan Mei, di mana banyak pemuda Kristen yang mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kampung area pelatihan kelompok merah di Kelei.  Pasukan beragama Kristen memberikan nama pada operasi ini dengan kelelawar merah dan kelalawar hitam.

Mereka digadang-gadang dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran dari Flores, NTT.  Pada 28 Mei ini nyatanya serangan semakin meluas terhadap warga Islam. Para wanita dan anak-anak ditangkap. Bahkan beberapa di antarnya mengalami pelecehan seksual. 

Terdapat sekitar 70 orang berlari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang. Orang-orang yang kabur pun berhasil ditangkap yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dilempar ke Sungai Poso.  Sekitar 39 jenazah ditemukan di tiga kuburan massal dengan total kematian sekitar 191 orang. 

Korban Poso

 Human Rights Watch mencatat, bahwa ada kedua belah pihak yang menderita banyak korban dalam kerusuhan ini. Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban. 

Versi pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001, terjadi tepat sebelum penandatanganan Deklarasi Malino yang dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar atau rusak. 

Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact Finding Team), tercatat bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember 2001, 840 mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso dan hutan-hutan di tepi kota. 

Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan Juni 2000.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya