JHT Cair Usia 56 Tahun, Pakar: Lebih Banyak Mudaratnya Bagi Buruh

Demo Buruh Tolak JHT BPJS Ketenagakerjaan
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai protes dan penolakan. Aturan itu mengatur JHT cair di usia 56 tahun.

Kabar Baik, Permintaan Tenaga Kerja Terampil Indonesia di Pasar Global Meningkat Tajam

Pakar hukum ketenagakerjaan, Anwar Budiman menjelaskan dari segi hukum, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 kedudukannya menggantikan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Dalam Permenaker 1 Tahun 2015, aturan mencairkan JHT diberi kemudahan bagi pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengundurkan diri dari perusahaan. 

Aturan Permenaker itu yakni JHT pekerja bisa cair setelah melewati 1 bulan setelah PHK atau mengundurkan diri dari perusahaan. 

PPN Naik Jadi 12 Persen, Pemerintah Pastikan Kasih Perlindungan Penuh Jaga Daya Beli Pekerja

"Nah, di sinilah permasalahan yang timbul dan membuat buruh merasa dirugikan atau dipersulit untuk menerima haknya," kata Anwar, dalam keterangannya, Sabtu, 19 Februari 2022.

Menurut dia, merujuk teori perundang-undangan, Peraturan Menteri adalah turunan Peraturan Pemerintah (PP). Kemudian, PP turunan Undang-undang (UU). 

Tiga Tersangka Bentrokan Maut di Tanah Abang Ditangkap, 2 Masih Buron

Demo Buruh Tolak JHT BPJS Ketenagakerjaan

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Dia menekankan Permenaker 2 Tahun 2022 turunan dari PP 46 Tahun 2015 dan perubahannya yaitu PP 60 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program JHT.

“Perlu dijelaskan di sini dalam Pasal 26 ayat (3) PP 46/2015 ditetapkan manfaat JHT bagi peserta yang dikenai PHK atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun. Sedangkan, Pasal 26 PP 60/2015 tak lagi mengatur secara pasti tentang kapan JHT diterima oleh pekerja," ujar Anwar.

Dia mengatakan, dengan PP 46 Tahun 2015 dan perubahannya PP 60 Tahun 2015, Menaker saat itu sebenarnya mengeluarkan Permenaker 19 Tahun 2015 yang memudahkan pekerja mencairkan JHT. 

“Pastinya peraturan ini telah dikaji dan ditelaah dengan seksama demi sebuah keadilan. Dan, hal ini tidak bertentangan dengan UU karena lebih baik dan lebih bermanfaat,” jelas dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana itu.

Namun, ia mengaku tak paham latar belakang pemerintah yang akhirnya menerbitkan Permenaker 2 Tahun 2022. Padahal. Padahal, Permenaker sebelumnya dianggapnya lebih bermanfaat bagi pekerja dan tak perlu diganti yang cenderung menyulitkan. 

"Semestinya ketentuan yang lebih baik dan lebih bermanfaat tidak diganti dengan ketentuan yang menyulitkan atau cenderung merugikan. Dengan kata lain, Permenaker 2 Tahun 2022 lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi buruh,” ujarnya. 

Pun, ia menganalisa bisa saja aturan itu dibuat dengan dalih Permenaker 2 Tahun 2022 tak bertentangan dengan PP 60 Tahun 2015. Sebab, dalam PP tersebut tak menetapkan secara jelas mengenai usia kapan JHT dapat diterima pekerja. 

Dia juga menyinggung Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terkait manfaat JHT berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

"Di mana mengenai usia pensiun telah ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) PP 45/2015 tentang Jaminan Pensiun bahwa untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun," kata Anwar.

Kata Anwar, Permenaker 2 Tahun 2022 memang seolah-olah tak ada pertentangan Permenaker tersebut dengan peraturan di atasnya jika dipandang dari sisi kepastian hukum. Namun, jika dicermati lebih teliti dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) PP 60 Tahun 2015 dinyatakan yang dimaksud dengan 'mencapai usia pensiun' termasuk peserta yang berhenti bekerja.

“Perlu dipahami iuran JHT sebesar 5,7 persen dari upah pekerja dibayarkan langsung oleh pekerja sebesar 2 persen dan dari pengusaha sebesar 3,7 persen. Di mana sejatinya iuran ini merupakan tabungan pekerja," tutur Anwar.

Dengan demikian, menurut dia, mestinya JHT bisa diambil pekerja jika sudah tak terikat lagi dengan perusahaan. Sebab, JHT itu ada karena ikatan antara pekerja dan pengusaha.

"Sudah semestinya pemerintah membuat suatu aturan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan sekadar kepastian hukum belaka,” jelas Anwar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya