Hakim: Disetubuhi Bertahun-tahun, Herry Merusak Psikologi Korban
- VIVA/Adi Suparman
VIVA – Terdakwa kasus pencabulan 13 santriwati yaitu Herry Wirawan menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung. Herry dinilai telah merusak psikologis para korban selama bertahun-tahun dengan menutup kontak dengan masing-masing keluarga korban.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung, Yohanes Purnomo Purwo Adi menjelaskan, hak para korban sebagai anak telah dirusak terdakwa saat berada di asrama. Karena tindakan bejat terdakwa menyetubuhi para korban secara terus menerus selama bertahun- tahun.
"Para korban disekat hubungannya dengan keluarga oleh terdakwa. Maka dari itu, hanya terdakwa yang memberi masukan kepada para korban," kata Hakim Purnomo saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung jalan LLRE Martadinata Kota Bandung, Selasa 15 Februari 2022.
"Para korban masih seorang anak-anak. Bahkan Terdakwa menyetubuhi para korban ada yang sampai 20 kali bahkan ada korban yang melihat perbuatan terdakwa," tambahnya.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, menuntut hukuman mati kepada terdakwa kasus asusila 13 santriwati Herry Wirawan. Sidang yang berlangsung secara tertutup ini menghadirkan Herry dengan pengawalan ketat petugas.
Tuntutan dibacakan jaksa penuntut sekaligus Kepala Kejati Jabar, Asep N Mulyana di Pengadilan Negeri Klas 1A Khusus Bandung. "Menuntut terdakwa dengan hukuman mati," ujar Asep usai persidangan, Selasa 11 Januari 2022.
Asep menegaskan, tuntutan ini sebagai bukti efek jera layak dilayangkan kepada terdakwa atas perbuatannya kepada 13 santriwati hingga melahirkan akibat nafsu bejatnya. Akibat perbuatannya pun, mengakibatkan korban mengalami dampak negatif terhadap kondisi sosial maupun fisiknya.
Jaksa menuntut Herry sebagaimana diatur dalam dakwaan primair, melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian Dakwaan Subsidair, yakni terdakwa didakwa melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Seperti diketahui, kasus asusila oleh guru Boarding School di Bandung terhadap 13 muridnya ini hingga melahirkan menyakitkan publik. Korban rata-rata merupakan warga pelosok yang sulit diakses di Kabupaten Garut.
"Saya baru menengok mereka, Perjalanannya sangat jauh. Dari kota di Garut selatan saja menuju kampung mereka memakan waktu 7 jam," ungkap Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Dedi Mulyadi kepada VIVA, Senin 13 Desember 2021.
Dedi menuturkan, para korban yang harus benar-benar dilindungi dan tetap mendapatkan hak pendidikannya serta harus dikawal. "Tapi rata-rata mereka (para korban) sudah mulai membaik. Mereka ingin kembali lagi ke sekolah," katanya.
Dedi menerangkan, dari informasi yang didapatkan di lapangan, aksi bejat Herry diduga dilakukan kepada selain mereka. "Sebenarnya korbannya bisa lebih dari belasan orang. Namun ada beberapa orangtua yang masih tidak percaya," katanya.
Niat Jahat
Lanjut Dedi, dari kabar yang didapatkannya pun pelaku mendirikan boarding school bukan untuk kepentingan pendidikan. Pelaku melakukan bejatnya tidak hanya di pesantren, melainkan di hotel dan aparteman yang diduga dibayai oleh dana bantuan.
Bahkan, lanjut Dedi, pelaku berencana mendirikan panti asuhan. "Panti asuhan itu didirikan untuk menampung bayi hasil pencabulan dan mendapat bantuan-bantuan dari berbagai pihak. Itu pelaku benar-benar 'sakit'," katanya.