BPOM Khawatirkan Pengaruh BPA di Kemasan Air Minum Polikarbonat
- Instagram/guyonankekinian
VIVA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan ada kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi kesehatan masyarakat.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI Rita Endang mengungkapkan, hal itu terungkap dalam uji sampel 'post-market' yang dilakukan 2021-2022.
"Dengan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan," ujar Rita dikutip dari Antara, Selasa, 1 Februari 2022.
Dia mengatakan, sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA). Dan, 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.Â
"Potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," ungkapnya.
Selain itu, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat. Hal itu berasal dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia.
Lebih lanjut menurutnya, BPOM juga melakukan kajian paparan BPA dengan hasil menunjukkan, kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali. Serta, anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun.
"Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN 2020-2024," ujarnya.
Lebih lanjut Rita mengatakan, BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat BPA pada air kemasan. Kajian itu dilakukan bersama pakar perguruan tinggi.
Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif dilakukan oleh sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menggunakan estimasi berdasarkan 'prevalence-based' untuk mengkaji beban ekonomi.
"Dipilih satu penyakit dengan dukungan banyak publikasi yang ilmiah. BPA merupakan 'endocrine disruptor' (zat kimia yang dapat mengganggu fungsi hormon normal pada manusia) berdasarkan penelitian berkolerasi pada sistem reproduksi pria atau wanita seperti infertilitas (gangguan kesuburan)," katanya.
Sementara itu, berdasarkan hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) tahun 2021, kata Rita, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali.
"Diperkirakan beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp30,6 triliun dalam periode satu siklus in-vitro fertilization (IVF)," katanya.
Rita menegaskan, Dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, beberapa negara telah mengetatkan standar batas migrasi BPA.
"BPOM belajar dari tren yang berlangsung, dinamika regulasi negara lain, dan mempertimbangkan kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," katanya. (Ant)