Hari Kusta Internasional: Perempuan Penyintas Bangkit untuk Sembuh
- bbc
Kusta tidak saja merupakan penyakit yang menyerang tubuh, namun bisa menggoyahkan mental mereka yang terinfeksi.
Seorang pasien dan orang yang pernah mengalami kusta bercerita kepada BBC Indonesia betapa penyakit yang juga disebut lepra ini telah merenggut masa remaja mereka dan bagaimana semangat mereka bisa bangkit lagi dan sembuh.
Geby Ataupah (20), gadis di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengaku terpukul saat kusta menyerangnya.
Bertahun-tahun Geby merasakan gejalanya sebelum akhirnya dipastikan itu adalah penyakit kusta, yang membuatnya sempat lumpuh saat duduk di bangku kelas tiga SMA dan tidak bisa bersekolah.
"Hampir Geby tidak bisa melanjutkan sekolah karena penyakit ini. Geby sempat putus sekolah selama satu semester," ujarnya.
Praktis Geby tidak bisa bergaul dengan teman-temannya karena kusta telah melumpuhkan sendi-sendi di tangan dan kaki sehingga membuatnya tidak bisa berjalan sebelum menjalani pengobatan intensif di rumah sakit kusta.
Tidak hanya Geby, yang tengah menjalani tahap pemulihan. Uswatun Khasanah (24) masih ingat betul bagaimana kepercayaan dirinya terkoyak ketika diserang kusta sepuluh tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas 2 SMP di Losari, Cirebon.
Dia mengaku "syok hingga putus asa dan tidak mau sekolah" saat kusta mulai melumpuhkan kondisi fisiknya kala remaja sehingga sempat dijauhi teman-teman.
"Saya jadi kurang bersahabat dengan teman-teman pada masa itu. Saya lebih banyak di dalam kamar, di rumah terus nggak keluar-keluar."
Itu sebabnya pakar medis pun menyebut kusta merupakan "salah satu penyakit yang paling distigmatisasi di bumi." Itu karena kusta sejak lama memunculkan cap buruk yang bermacam-macam di lingkungan masyarakat sehingga kian menambah berat penderitanya.
Pemberian informasi yang benar dan intensif kepada masyarakat diyakini dapat menghapus stigma-stigma itu, sehingga sangat membantu pemulihan penderita kusta dan menekan kasus penularan penyakit ini di Indonesia, kata aktivis kusta dari NLR Indonesia.
Â
Bagaimana kusta bisa melumpukan tubuh?
Â
Geby Ataupah tidak menyangka penyakit yang menderanya selama bertahun-tahun ternyata kusta.
Dia mengaku tidak habis pikir bagaimana bisa terjangkit penyakit itu, yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae), yaitu bakteri yang tumbuh dengan lambat.
"Anggapan Geby, kusta kan penyakit yang sudah tidak ada lagi di zaman sekarang. Ternyata penyakit ini masih ada," ujar Geby. Padahal tidak ada satupun di keluarga dan tetangga-tetangga Geby yang terserang bakteri ini.
Gejala kusta mulai dirasakan Geby saat masih duduk di bangku Kelas 1 SMP, hanya muncul bercak-bercak merah di pipi tapi makin lama makin besar. Petugas kesehatan di Puskesmas saat itu hanya bilang dia mungkin alergi sabun atau makanan dan hanya diberi obat oles di pipi.
Namun saat menginjak usia SMA, gejalanya kian parah. Geby sering menderita demam berhari-hari dan ada pembengkakan pada bagian-bagian sendi di kaki dan tangan. Sempat dibiarkan, lalu muncul benjolan sebesar biji kelereng di permukaan telapak kaki.
Setelah bolak-balik ke puskesmas dan dirujuk ke rumah sakit di Kabupaten Kupang, tempat Geby tinggal, untuk menjalani tes laboratorium, baru diketahui Geby menderita kusta. Saat itu dia sudah kelas 2 SMA.
Begitu menginjak kelas 3 SMA, sakit kusta yang diderita Geby makin parah. Dia akhirnya menderita kelumpuhan. "Susah berjalan, ambil ini dan itu harus dibantu orang tua."
Akhirnya Geby disarankan untuk berobat di Rumak Sakit Kusta dan Cacat Umum di Kabupaten Timor Tengah Utara, jauh dari rumahnya di Kabupaten Kupang.
"Saat masuk rumah sakit, Geby sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kurus sekali, seperti tulang yang hanya dibungkus kulit. Maka 3 bulan pertama diberi perbaikan gizi, lalu dilanjutkan dengan terapi, sambil menunggu HB-nya bagus, lalu bisa melanjutkan konsumsi obat kusta," ujarnya.
Dia saat ini sedang menjalani masa pemulihan di Rumah Sakit Kusta dan Cacat Umum di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Sudah sembilan bulan Geby berada di rumah sakit itu.
Kondisinya membaiik, dan sudah bisa berjalan lagi. "Masih tunggu enam bulan lagi untuk diobservasi sampai pulih total."
Â
Kusta membuat `minder dan malu`
Â
Saat menjalani kelumpuhan sehingga tidak bisa bersekolah, tekanan mental juga menyerangnya.
"Geby sempat down setelah dinyatakan menderita kusta, sementara masyarakat luas pemikirannya berbeda-beda menanggapi kusta. Karena sering ditanya teman-teman, kamu sakit apa, akhirnya Geby sering merasa minder dan malu," ujarnya.
Bagi Uswatun Khasanah, yang pernah menyandang kusta, perasaan itu adalah stigma yang muncul dari diri sendiri. Dan itu yang dia rasakan saat menderita penyakit itu sepuluh tahun lalu.
Seperti Geby, dia juga merasakan gejala-gejala kusta saat masih bersekolah di bangku SMP, diawali dengan bercak-bercak putih di wajah dan tubuhnya. Sempat dikira alergi atau kena gigitan serangga, beberapa bulan kemudian kusta terlanjut melemahkan kondisi Uswatun sebelum akhirnya dirawat.
Â
Â
Stigma dari penyakit itu sudah menyerang dirinya.
"Saya syok, menangis, hampir putus asa. Lalu tidak mau sekolah, tidak mau bergaul. Di situlah timbul stigma diri dulu," ujarnya.
Sayangnya lingkungan pergaulannya dan di sekolah Uswatun saat itu juga tidak mendukung. Pukulan ganda pun menghantam saat muncul stigma dari lingkungannya itu.
"Lalu teman-teman menjauhi dan ada yang mengejek ke saya karena mukanya jadi jelek. Bahkan sahabat saya sendiri yang biasa berteman dan bersenda gurau malah menghindari saya," kenang Uswatun.
"Itu membuat saya jadi malas ke sekolah. Hampir tiga minggu saya tidak bersekolah, karena waktu itu juga sedang sakit berat, tidak bisa jalan, harus istirahat dan mempengaruhi juga motivasi belajar saya saat itu. Stigmanya ke mana-mana."
"Main ke tetangga juga malu. Lalu banyak tetangga saat ke rumah menangis melihat saya berbaring di kamar tidak bisa berbuat apa-apa."
Â
`Salah satu penyakit yang paling distigmatisasi di bumi`
Â
Â
Â
Stigma yang dialami Geby dan Uswatun itu diakui oleh aktivis kusta Asken Sinaga. Salah satu karakter penyakit kusta adalah munculnya stigma, baik dari penderita sendiri maupun di lingkungannya.
"Stigma ini membuat mereka tidak mengakses layanan berobat dan membuat masyarakat mengucilkan mereka, bukannya malah mendorong untuk berobat," kata Asken Sinaga, Direktur Eksekutif NLR Indonesia.
Yayasan yang dipimpin Asken ini membantu penderita kusta melakukan pengobatan, pendampingan hingga pemulihan serta melakukan edukasi penyakit tersebut kepada masyarakat.
Selama mendampingi penderita kusta di beberapa daerah, Asken dan para stafnya menemukan stigma yang berbeda-beda.
"Ada yang bilang kusta itu penyakit kutukan, jadi dijauhi. Ada yang bilang kusta itu akibat santet. Ada yang bilang kusta itu tidak bisa disembuhkan.
Ada yang bilang karena orangtuanya ketika berhubungan intim, ibunya sedang haid sehingga tidak bersih. Jadi stigma-stigma ini yang membuat orang menjauhi," kata Asken.
Hal yang serupa pun dijumpai oleh dokter dan aktivis kusta, dr. Renni Yuniati. Rutin mengobati para pasien kusta di Jawa Tengah, Renni bahkan menyebut kusta merupakan "salah satu penyakit yang paling distigmatisasi di bumi."
"Diagnosis kusta adalah hukuman seumur hidup bagi sebagian orang, sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan dan akibat dari perbuatan dosa.
Banyak penderita kusta diusir dari rumah, komunitas, atau dipaksa meninggalkan pekerjaan mereka dan hidup mengemis," kata Renni yang dikenal sebagai dokter di RS Dr Kariadi Semarang dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Â
Bagaimana menyembuhkan kusta?
Â
Renni mengungkapkan bahwa kemunculan penyakit lewat percikan cairan pernafasan bergantung pada imunitas tubuh seseorang.
"Imunitas tersebut mempengaruhi lama masa inkubasi bahkan tipe penyakit kusta, apakah kering atau basah," ujarnya.
Dia menjelaskan, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta, antara lain: kulit mengalami bercak putih yang lama kelamaan semakin melebar dan banyak.
"Lalu bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, kesemutan pada anggota badan atau raut muka muka berbenjol-benjol dan tegang, dan ada bagian tubuh mati rasa karena kerusakan saraf tepi."
Menurut Renni, gejala kusta sering kali tidak selalu tampak, justru dia mengingatkan agar sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama.
Lama pengobatan kusta tergantung jenis kustanya. "Pada kusta jenis pausibasilar waktu pengobatan selama 6-9 bulan. Namun pada kasus kusta jenis multibasilar waktu pengobatan selama 12 - 18 bulan. Durasi pengobatan dapat bertambah jika terjadi gagal pengobatan atau relaps (kambuh)," ujarnya.
Merujuk pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dr Renni mengatakan bahwa orang dengan kusta diobati dengan MDT (Multi Drug Therapy).
Ini adalah kombinasi dua atau lebih obat antilepra di mana salah satunya adalah rifampicin yang merupakan obat bakterisidal kuat. Obat antilepra selain rifampicin bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan bakteri.
"Pengobatan MDT bertujuan untuk memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya cacat atau mencegah kecacatan bertambah parah, memperpendek masa pengobatan, mencegah terjadinya resistensi kuman serta meningkatkan keteraturan berobat," ujar dr Renni.
Namun dia menyatakan bahwa pengobatan MDT tidak mengobati kecacatan yang sudah terjadi.
Â
Kunci penyembuhan: dukungan keluarga terdekat dan hapuskan stigma
Â
Â
Â
Selain pengobatan medis, lanjut dr Renni, dukungan dari lingkungan terdekat adalah kunci penyembuhan bagi penderita penyakit kusta.
"Pendekatan keluarga penting diterapkan dalam upaya pencegahan dan deteksi dini penyakit kusta serta pengobatan sesegera mungkin untuk mencegah kecacatan dan memutus mata rantai penyebaran."
Dukungan kuat dari orang tuanya sangat membantu Uswatun selama menjalani pengobatan kusta selama setahun. Semangatnya untuk bersekolah muncul lagi sambil beritikad kuat untuk sembuh.
"Kalau tidak ada mereka, mungkin saya tidak bisa sekuat ini. Mereka yang bisa menenangkan sekaligus juga menyembuhkan.
Melihat kegigihan mereka merawat saya ketika itu sampai bapak tidak bisa menarik becak dan ibu tidak bisa jualan, itu demi mengobati saya selama hampir satu tahun.
Saya berpikir tidak bisa bermalas-malasan dan harus kembali ke sekolah. Ayah saya pun rela mengantar saya dengan becaknya ke sekolah lalu sampai menggendong saya ke ruangan kelas di lantai dua," kenang Uswatun.
Setelah menamatkan pendidikannya hingga menjadi sarjana, Uswatun mengajar sebagai guru di Cirebon dan kini bekerja di Jakarta,.
Kembali ke Nusa Tenggara Timur, dukungan dari keluarga dan teman-teman berhasil memulihkan semangat Geby Ataupah sehingga bisa menamatkan SMA selama masa pengobatan kusta.
"Kalau sampai Geby sia-siakan satu kesempatan ini maka akan terbuang masa depan dan harapan Geby untuk berkembang.
Tapi karena Geby tidak merasa putus asa, walau masih harus merasakan penyakit kusta, Geby tetap melanjutkan sekolah. Bersyukur masih ada teman-teman yang mau menerima Geby."
Sekarang dia dalam tahap penyembuhan dan sudah bisa berjalan lagi. Sambil menjalani masa observasi di rumah sakit selama enam bulan ke depan, Geby membantu mendampingi dan memotivasi sesama pasien kusta.
"Ini adalah suatu usaha yang membuat Geby tetap bertahan hingga hari ini."