Jaksa Agung Minta Koruptor di Bawah Rp50 Juta Tak Perlu Dipenjara

Jaksa Agung ST Burhanuddin
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Jaksa Agung ST Burhanuddin kembali menyatakan hal yang mengejutkan dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. Kali ini, Jaksa Agung mengaku telah meminta jajaran agar mengusut kasus-kasus korupsi di bawah Rp50 juta dengan cara pengembalian kerugian negaranya saja. 

MK Putuskan KPK Berwenang Usut Korupsi Militer, Nurul Ghufron Bilang Begini

Hal itu disampaikannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 27 Januari 2022. 

"Untuk tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara," kata Burhanuddin. 

KPK Periksa Plh Gubernur Kalimanta Selatan Dicecar soal Sahbirin Noor

Jaksa Agung menjelaskan, bahwa upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan.

Selain kasus dugaan korupsi tersebut, Burhanuddin juga menyoroti kasus-kasus penyalahgunaan dana desa yang dianggap kerugiannya tidak terlalu besar. 

Sidang Lanjutan Korupsi Timah, Ahli Kritik Cara Penghitungan Kerugian Lingkungan

Menurutnya, jika perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus, maka Jaksa Agung meminta agar penyelesaian perkara dilakukan secara administratif dan pembinaan.

"Dengan cara pengembalian kerugian tersebut, terhadap pelaku dilakukan pembinaan oleh Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya," imbuhnya.

Seperti diketahui, Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat menyoroti soal penanganan perkara tindak pidana korupsi. Ia menyatakan berdasarkan data situs Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 sebesar 37, dari sebelumnya IPK Tahun 2019 sebesar 40, namun kerja keras yang dilakukan belum mampu mendongkrak IPK secara signifikan. 

"Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum sangat berkepentingan terhadap tinggi-rendahnya IPK, karena IPK merupakan potret dari kinerja kita dalam pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin di Sumatera Selatan, dikutp pada Minggu, 28 November 2021. 

Kekeliruan Jaksa Menurut Burhanuddin, salah satu kekeliruan jaksa dalam menyikapi rendahnya IPK adalah dengan mengejar penanganan korupsi sebesar-besarnya, namun melupakan perbaikan sistem yang mengarah pada terwujudnya ekosistem yang berorientasi pada transparansi, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang sehat. 

Perbaikan Sistem

Untuk itu, ia mengajak Kajati dan Kajari beserta seluruh jajaran untuk mengubah cara berpikir dalam memberantas tindak pidana korupsi dengan turut berorientasi pada perbaikan sistem yaitu dengan memperhatikan beberapa indikator dalam IPK.

Salah satunya, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara berimbang antara pendekatan pencegahan (preventif) dan penindakan (represif) yang saling sinergis, komplementer, terintegrasi dan proporsional. Penanganan suatu perkara tidak hanya sekadar mempidanakan pelaku dan mengembalikan kerugian negara, namun juga harus dapat memberikan solusi perbaikan sistem agar tidak terulang di kemudian hari. 

"Untuk itu, saya tegaskan pentingnya sinergitas bidang pidana khusus serta bidang perdata dan tata usaha negara sangat diperlukan untuk melakukan penegakan hukum yang konstruktif. Karena sebanyak apapun penuntutan yang dilakukan, dan sebanyak apapun pengembalian kerugian negara tanpa diikuti dengan perubahan konstruktif, maka kita belum sepenuhnya melakukan penegakan hukum," ujarnya. 

Oleh karena itu, terhadap setiap instansi yang telah berhasil dibuktikan tindak pidana korupsinya oleh bidang pidana khusus, dia meminta kepala kejaksaan tinggi dan kepala kejaksaan negeri sedapat mungkin untuk mengerahkan jajaran perdata dan tata usaha negara guna melakukan audit terhadap tata kelola, sehingga terjadi perbaikan sistem pada instansi tersebut. 

Dan diharapkan pada instansi tersebut tidak terulang tindak pidana korupsi yang lebih disebabkan karena rendahnya sistem dan tata kelola.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya