Pakar Hukum: MK Bisa Batalkan UU Ibu Kota Negara
- istimewa
VIVA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menyatakan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang baru disahkan bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, undang-undang itu berpotensi memunculkan masalah serius secara konstitusional.
“MK dapat saja membatalkan sebuah pengaturan terkait pranata yang tidak dikenal, baik dalam konteks tidak dikenalnya nomenklatur otorita dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun konsep serta paradigma yang memang sangat berbeda maupun tidak dikehendaki dalam rumusan konstitusi,” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Januari 2022.
Tak Sejalan dengan UUD 1945
Fahri menilai konsep otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah sesuai desain konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, karena rumusan konstitusionalnya mengatur, konsep, struktur, bentuk serta mekanisme secara baku dan diatur dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (7).
Baca juga: Viral Edy Mulyadi Sebut Lokasi Ibu Kota Baru Tempat Jin Buang Anak
Rumusan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, menurut Fahri mengatur tentang pembagian dan susunan tata pemerintahan daerah Indonesia. Pembagian pemerintahannya terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan kota, sebagaimana diatur UU.
Kemudian pada ayat (2), disebutkan Fahri, pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota mangatur pemerintahannya masing-masing sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan pada ayat (3), lanjut Fahri, menjelaskan perumusan bahwa Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, memiliki DPRD, yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum.
Fahri menguraikan bahwa ketentuan sebagaimana terdapat dalam ayat (4) mengatur bahwa gubernur, bupati dan walikota, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis, yang diamanahkan menjalankn otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang dalam UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
“Dengan demikian, jika mendasarkan pada studi hukum tata negara mengenai metode penafsiran berdasarkan “original intent” maka sangat sulit serta tidak kompatibel dengan makna dan paradigma yang telah diatur dalam dalam ketentuan pasal 18 dan 18A UUD NRI Tahun 1945," kata Fahri.
Sangat Riskan
Oleh karena itu, ia mengatakan jika ada warga negara yang memiliki legal standing serta interest standing terkait konstitusionalitas otorita IKN, maka secara teoritik, MK bisa saja membatalkan atau dapat menyatakan konsep otorita yang terdapat dalam UU IKN itu dinyatakan inkonstitusional.
“Ini adalah sesutu yang sangat riskan, hemat saya idelanya konsep dalam membangun kepemerintahan dalam UU IKN ini haruslah sejalan dan taat pada asas yang telah diatur dalam konstitusi, agar tidak menjadi problem teknis ketatanegaraan dalam urusan pemerintahan,” tutur Fahri.