Jejak Kekerasan 1965 di Aceh Tengah: Kepala Manusia Diarak di Takengon
- bbc
"Dan karena kegagalan itu, paman saya dituduh melindungi Aidit," ungkap Sri. Dia kemudian dijebloskan ke penjara Nusakambangan.
Setelah dibebaskan, sang paman mengalami trauma dan terstigma dicap anggota PKI dan anti Tuhan. "Padahal dia sangat religius," katanya.
Di sinilah, Sri Wahyuni melibatkan diri untuk mengetahui lebih banyak perihal pamannya itu. "Saya mewawancarainya dan mencatat."
Di saat bersamaan, Sri mewawancarai pamannya yang lain. Pada 1965, dia membantu tentara `mengantar` tahanan ke algojo untuk dieksekusi.
Kepada Sri, pamannya ini sempat menangis dan menyesal atas keterlibatannya itu. Selanjutnya dia menolak tugas itu.
"Saya melihat kesedihan wajah paman-paman saya," katanya. "1965 merupakan masa paling mengerikan."
Di sinilah, Sri memutuskan untuk menulis tentang pengalamannya tersebut. "Tapi menulis tentang tema PKI itu sangat berat."
Dia tidak mau tulisannya nanti akan menimbulkan "masalah baru", karena menurutnya stigma terhadap penyintas itu belum hilang.
"Karena masih ada kampanye yang terus menerus, seolah-olah PKI masih ada... Sehingga untuk bicara komunisme, masih sesuatu yang mengerikan," jelasnya.
Dalam konteks seperti itu, dibutuhkan pendekatan yang tidak frontal, seperti melalui pengenalan sejarah, misalnya. "Mungkin di forum ilmiah atau menulis buku."
Sri Wahyuni memilih menulis fiksi sebagai healing (menyembuhkan) dirinya sendiri, karena "saya seperti menerima kesedihan paman saya."
"Utang saya kepada paman saya adalah menuliskannya. Bisa jadi nama baik paman saya dipulihkan, sehingga orang tahu paman saya tidak ateis," kata Sri Wahyuni.
`Saya menulis, agar orang tahu ketidakadilan yang dialami penyintas 1965` — Win Wan Nur, jurnalis dan penulis
Win Wan Nur memilih mengungkapkan tragedi 1965 di kota kelahirannnya itu dengan menulis sebuah novel.
Lima tahun lalu, dia meluncurkan novel berjudul Romansa Gayo dan Bordeaux.
Walaupun berkisah tentang percintaan, Win mengaku menyisipkan `percakapan` tentang tragedi G30S di beberapa halaman novelnya.
Kesadarannya untuk memasukkan potongan kisah 1965 dilatari apa yang disebutnya "ketidakadilan" yang dialami para penyintas 1965.
"Setelah saya melihat bagaimana kehidupan mereka, bagaimana mereka mencoba bertahan hidup dengan keadaan itu, saya pikir orang perlu tahu," katanya saat kami temui di Takengon, pekan ketika Oktober 2021 lalu.
Pilihannya menulis novel, karena Win Wan Nur meyakini para pembaca akan dapat memasuki jalan ceritanya.
"Bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang hidup dengan orang tua yang dituduh PKI, hidup dengan stigma, itu dapat tergambarkan," paparnya.
"Kalau saya menuliskannya dalam bentuk laporan seperti itu, nanti saya dikesankan seolah membela mereka, dan pro ke ideologi itu [komunisme]," jelas Win Wan Nur. "Ini akan timbulkan gejolak."
Terlepas dari pilihannya untuk menuliskannya dalam bentuk novel, dia sampai pada satu titik bahwa diperlukan "pemahaman situasi" di mana para penyintas itu hidup.
Dia menekankan hal ini karena belum hadirnya negara untuk mendampingi para korban 1965 di Gayo.
Saat ini diperlukan cara yang tepat agar para korban itu justru tidak makin tersudut jika caranya tidak tepat.
"Kita tidak bisa melakukan pendekatan seragam untuk setiap kelompok masyarakat," ujarnya.
"Karena banyak korban [1965], tiap orang pasti punya kenangan personal. Entah kerabat melalui perkawinan, entah sepupu... Semua orang di Gayo pernah merasakannya," jelas Win Wan Nur.
Karena itulah, menurutnya, kalau ada upaya untuk mengungkap kekerasan 1965, selalu orang luar yang melakukannya.
"Kalau diangkat, bagaimana lukanya lagi, bagaimana sakitnya lagi," katanya.
`Saya tidak ajak murid-murid memihak PKI dan membenci militer` — Nanda Winar Sagita, guru sejarah di SMAN di Takengon
Nanda Winar Sagita terus mencari tahu tentang kekerasan 1965 di Aceh Tengah setelah membaca buku pledoi salah-seorang pimpinan PKI di Aceh, Thaib Adamy, Atjeh Mendakwa.
Dari sanalah, Nanda melakukan riset kecil-kecilan dengan membaca dan bertanya langsung keluarga korban.
"Kebanyakan yang menjadi korban itu orang-orang yang tidak tahu apa-apa," katanya saat ditemui BBC News Indonesia di Takengon, Oktober lalu.
"Mereka menjadi korban keadaan dari politik dan konflik yang terjadi `di atas`, di kalangan elit politik," tambahnya.
Di sisi lain, Nanda mendapati buku-buku sejarah seputar 1965 masih didominasi versi tertentu peninggalan Orde Baru. Dan sebagian besar murid-muridnya masih berpijak dari buku-buku seperti itu.
"Di sana memang berat sebelah, PKI selalu distigma sebagai penjahat, paling bersalah," ujarnya. Diakuinya PKI juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan sejumlah perwira Angkatan Darat pada 1965.
Menurutnya, salah-satu cara untuk memberikan perspektif lebih segar tentang peristiwa 1965 di Aceh Tengah adalah melalui anak didiknya di sekolah.
"Karena siswa-siswa ini masih mudah dibentuk pola pikirnya," katanya.
Tentu saja, Nanda menekankan bahwa dirinya tidak mengajarkan kepada mereka untuk berpihak kepada PKI atau membenci militer.
"Tetapi mereka harus berdiri di tengah. Bagaimana memandang kasus itu secara netral. Bagaimana memandang kasus G30S secara obyektif," jelasnya.
Dari cara pandang sepeeri itu, Nanda menggarisbawahi bahwa dirinya juga berusaha memberikan materi sejarah yang semangatnya tidak mewariskan dendam dan konflik baru.
"Kami hanya mencoba kepada mereka bagaimana caranya bisa bersikap lebih progresif dalam memandang suatu kasus," katanya.
"Jangan hanya terpaku pada stigma-stigma di masyarakat terus kita takut untuk membuka diri. Terus kita ikut-ikutan sesuatu yang sebenarnya sejak awal sudah keliru," tandasnya.