Jejak Kekerasan 1965 di Aceh Tengah: Kepala Manusia Diarak di Takengon
- bbc
Budi kemudian teringat, ketika masih bocah, dia pernah menanyakan ihwal kebenaran desas-desus `arak-arakan menenteng kepala kakeknya` kepada orang tuanya, tapi dia tak mendapatkan jawaban memuaskan.
Rupanya, ibunya lebih memilih memendam ingatan pedihnya untuk dirinya sendiri.
Seiring pengetahuannya yang terus bertambah, Budi kemudian berusaha meyakinkan ibunya supaya mau bercerita.
"Tak usah lagi disembunyikan, ibu," kata Budi, mengulang lagi percakapan dengan ibunya.
Dia merasa yakin bahwa dengan berbagi cerita itu akan membantu meringankan beban masa lalu ibunya.
Baca juga:
- Ribuan buku peristiwa 1965: Mengubah kesedihan menjadi kekuatan
- Kisah para eksil 1965: Mereka yang `dibui tanpa jeruji`
- Menunggu puluhan tahun untuk tetap menjadi WNI
Akhirnya,"dia mau cerita," kata Budi.
Menjelang kami wawancarai, Budi mengaku mengorek informasi terlebih dulu kepada ibu dan ayahnya — keduanya berusia 80an tahun — tentang tragedi itu.
"Semoga dengan kesaksian saya ini, membuat beban ibu saya berkurang," katanya.
`Yang mengerikan, anak-anak kecil pun dibantai`
Peristiwa sadis yang dialami keluarga Budi bukanlah contoh satu-satunya di Aceh Tengah.
Sebuah penelitian independen mengungkapkan ada sebuah kasus kekerasan 1965 yang korbannya adalah anak-anak.
"Dan, yang lebih mengerikan, yang mati dibunuh, bukan hanya orang tua, ada anak-anak yang dibantai," ungkap Mustawalad, warga Takengon, yang meneliti kekerasan 1965 di Aceh Tengah.
Informasi ini didapatkan Mustawalad dengan mewawancarai beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai pelaku dan sejumlah saksi mata.
Dia kemudian menyebut sebuah kampung di Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.
"Kenapa mereka dibantai? Apakah bapaknya salat? Salat! Kenapa dibantai? Ya, karena PKI!" Mustawalad mengulang percakapannya dengan seseorang yang mengaku sebagai pelaku.
Pembantaian terhadap anak-anak yang orang tuanya dicap komunis itu sempat membuat Mustawalad dihantui mimpi buruk.
"Apa hubungan anak kecil yang masih sekolah dasar dengan [pilihan] politik orang tua mereka?" katanya saat ditemui BBC News Indonesia di Takengon, Oktober lalu.
Baca juga:
- G30S: Cucu-cucu `Pahlawan Revolusi` dan `elite PKI` bicara soal sejarah dan harapan `tak mau warisi konflik untuk membenci`
- Penari asal Kupang yang dituding PKI: Diperkosa, katong diperlakukan seperti anjing, `Biar Tuhan yang mengadili`
- Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: `Saya minta maaf`
"Kebodohan apa yang telah mereka lakukan? Saya tidak habis pikir," tambah Mustawalad, yang pernah aktif di organisasi Kontras di Jakarta dan Banda Aceh.
Kejadian kekerasan ini kemudian memotivasi dirinya untuk meneliti berbagai peristiwa kekerasan 1965 di tanah kelahirannya.
Sejak 2006, Mustawalad melakukan penelitian secara independen. Dia mewawancarai korban dan keluarganya, para pelaku, saksi mata serta mendatangi lokasi pembantaian di Aceh Tengah.
Bersama Mustawalad, kami kemudian mendatangi salah-satu lokasi pembantaian, yaitu di Bur Lintang. Jaraknya sekitar 21km dari Takengon.
Ini adalah kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam.
"Ini salah-satu lokasi di mana sebagian besar korban dibantai," ungkapnya. Di Aceh Tengah ada sekitar 13 lokasi pembantaian.
Baca juga:
- Cucu eksil: Peristiwa 1965, sejarah yang tak boleh dilupakan
- Cerita para eksil 1965: `Identitas dicabut, seolah nyawa dicabut`
- Menunggu puluhan tahun di Praha untuk paspor Indonesia
"Dari riset awal, kami menemukan sekitar 2.500 korban. Bandingkan saja dengan jumlah penduduk Aceh Tengah yang hanya 25.000 pada saat itu," katanya.
Mustawalad juga pernah menulis bahwa banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya mendapat informasi yang tidak jelas.
"Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah," tulisnya di Majalah Pantau, awal Februari 2008.
"Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban... Tak ada verifikasi, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai," lanjutnya.
Mustawalad pernah mewawancarai Ibrahim Kadir, penyair asal Gayo, Aceh Tengah, yang sempat ditahan dan terancam dieksekusi.
Belakangan terungkap Kadir ditangkap "karena informasi yang salah". Kadir bukanlah anggota PKI, tetapi PNI.
Dalam risetnya, dia juga menemukan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di Gayo juga dilatari dendam politik masa lalu.
Ada sejumlah eks-pasukan DII/TII membalas dendam dengan ikut membantai orang-orang yang dicap PKI.
"Rasakan ini pembalasan kami, gara-gara kamu [korban PKI] menjadi milisi, susah sekali kami," ungkap Mustawalad, menirukan suara pelaku pembantaian.
Selama pemberontakan DI/TII di Aceh, PKI mendukung sikap Jakarta yang mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan.
Baca juga:
- Korban 1965: `Saya bertemu algojo yang menembak mati ayah saya`
- `Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal`
- Jumat pagi bersama `algojo pemburu` PKI