Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher
- bbc
Namun dia sekonyong-konyong teringat kejadian horor 56 tahun silam, ketika saya untuk ketiga kalinya menanyakan "apa yang terjadi pada ayahnya di tahun 1965".
Dia lantas mengajak BBC News Indonesia ke ruangan belakang, ketika puluhan tahu silam dia menyediakan air untuk keperluan mandi sang ayah — sebelum dijemput dan `dihilangkan`.
Di akhir wawancara, Mariana kemudian berujar lirih: "Peristiwa itu sulit saya lupakan. Harus dilupakan, harus dilupakan. Kini sudah aman kan."
Tidak jauh dari `rumah panggung`, kami sebelumnya bertemu salah-seorang adik Mariana. Namanya Ratnawati, yang lima tahun lebih muda.
Usianya 12 tahun ketika tragedi itu menimpa ayahnya. Perempuan kelahiran 1953 ini akhirnya tahu di mana ayah dikuburkan. Tapi dia belum pernah ke sana sampai sekarang.
Di hadapan kami, Ratnawati terlihat lebih leluasa memperlihatkan perasaannya. Ia mengalami trauma semenjak peristiwa `penjemputan` ayah tirinya.
"Ya, Allah, ya Tuhanku, kalau tidur malam, aduuuh, mata terpejam, tapi hati tidak tidur. Orang tua hilang apakah itu enggak [tidak menimbulkan trauma] parah," ungkapnya.
Saat wawancara, Ratna dan Setiady — anak Thaib Adamy, tokoh PKI Aceh yang juga dibantai — beberapa kali tak kuasa menahan lelehan air matanya.
"Alhamdulillah kami selamat, walaupun orang tua kami tidak selamat. Kami masih dilindungi," ungkap Ratna. Mereka berharap tragedi itu tak terulang lagi.
`Alat perlawanan melawan kolonial Belanda` — Sejarah kehadiran PKI di sepanjang jalur kereta api di pesisir timur Aceh
Kisah keluarga pegawai kereta api di Aceh yang menjadi korban kekerasan 1965 karena dituduh komunis, tidak bisa dilepaskan dari sejarah di balik keberadaan jalur kereta api di wilayah itu.
Jalur kereta api yang menghubungkan Banda Aceh-Medan — antara lain melalui Kota Sigli dan Idi di pesisir timur Aceh — dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad 20.
Semula, jalur kereta api ini dibangun untuk mengangkut tentara kolonial Belanda guna memadamkan pemberontakan rakyat Aceh.
Namun seiring perjalanan waktu, keberadaan infrastruktur jalur kereta api itu berkembang menjadi penghubung aliran barang dan manusia ke wilayah itu.
Ketika orang-orang luar Aceh datang dan menetap di berbagai kota pesisir timurnya, juga kelak di pedalaman, ide-ide dari luar pun mengalir dan menyebar
"Di sana, ada aliran ide-ide, pikiran-pikiran, termasuk komunisme. Dan PKI di Aceh itu dulu sangat berkembang di pantai timur," kata Humam Hamid, ahli sosiologi dari Banda Aceh, kepada BBC News Indonesia, Oktober 2021 lalu.
Baca juga:
- Zaini Abdullah dan masa depan Aceh
- Malik Mahmud: `Bingkisan Syariat Islam itu diletakkan di depan parlemen Aceh`
- Wapres: Syariat Islam di Aceh tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional
`Jadi ide [komunisme] itu datang lewat fisik kereta api, melalui orang-orang yang datang, baik orang Aceh atau non-Aceh, " kata Humam Hamid.
Kehadiran ide komunis di Aceh kemudian bertemu dengan kemarahan anak-anak muda Aceh terhadap kolonial Belanda. "Ada alternatif lain di luar nilai agama," ujarnya.
"Ada penjelasan logis beyond religion tentang kenapa harus melawan kolonial. Dan itu ada pada PKI," jelas Humam.
Sejarawan Rusdi Sufi, dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional - Bagian II Konflik Lokal (2012), juga mencatat komunisme masuk ke Aceh dibawa oleh para pendatang.
Baca juga:
- Kaum muda Aceh menafsir sejarah
- Bila tsunami Aceh mewarnai kehidupan seseorang
- Kuliner Mie Aceh, antara isu ganja, hikmah tsunami dan GAM
Sejarah mencatat, ada beberapa nama tokoh komunis yang disebutkan menyebarkan ideologi komunis ke Aceh, seperti A Karim MS dan Nathar Zainuddin — keduanya dari Minangkabau.
Membawa ideologi komunis, para pendatang asal Sumatera Barat dan Jawa `menularkannya` kepada para buruh di kawasan perkebunan, pertambangan, hingga buruh kereta api.
Semula ide-ide komunis, menurut Ruth T McVey (Kemunculan Komunisme Indonesia, 2010), hanya "menarik orang Melayu setempat dan tidak menarik bagi orang Aceh sendiri."
Namun Rusdi Sufi mencatat, lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban.
"Yaitu yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik," jelas Rusdi.
Faktor lainnya, demikian analisa Rusdi, PKI ketika itu mampu mengadaptasikan dirinya menjadi organisasi yang akrab dengan Islam.
"Kedekatan dengan Islam ini membuktikan bahwa PKI yang berkembang di Aceh adalah PKI yang sudah ter-Islam-kan," paparnya dalam buku Peristiwa PKI di Aceh, Sejarah Kelam Konflik Ideologis di Serambi Mekkah (2008).
Di sini, Humam Hamid menganalisa, PKI akhirnya bisa berkembang di Aceh, kemungkinan karena mereka dan kelompok agama "bisa saling mendukung" dalam melawan kolonial.
Itulah sebabnya, pada 1931, sebuah laporan penguasa militer Hindia Belanda di Aceh menyebutkan, aktivitas PKI sudah demikian marak di Samalanga — kini nama kecamatan di Kabupaten Bireuen.
Di wilayah itu, menurut Rusdi Sufi, merupakan basis gerakan Sarikat Islam (SI). "Yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis," tulisnya.
Pada tahun-tahun itu, salah-seorang ulama dan aktivis SI di Samalanga adalah ayah Humam Hamid, Tengku Abdoel Hamid. Dia dicurigai Belanda sebagai anggota SI Merah.
"Ayah saya lari ke Malaysia dan ke Timur Tengah (Mekkah)," ungkap Humam. "Mungkin ayah saya sudah berpikiran revolusioner pada masa itu untuk melawan penjajahan."
Aktivitas PKI di Aceh, tentu saja, tidak dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Lalu terjadilah pengawasan, penangkapan, pengusiran dan pengasingan terhadap mereka.
Gerakan komunis di Aceh yang berkembang pesat selama awal 1925, tulis Ruth T McVey (halaman 524, 2010), dihadapi dengan pemulangan secara paksa sejumlah pemimpinnya ke tempat asalnya di Minangkabau.
Kebijakan ini, menurut Rusdi Sufi, menyebabkan gerakan ini menjadi hilang dari Aceh hingga akhir masa kolonial.
"Gerakan komunis memulai kembali aktivitasnya di tanah Aceh adalah pada November 1945, sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI..." tulis Rusdi Sufi.
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana dan Dwiki Marta. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Wartawan Sidarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan kami di Sigli dan sekitarnya.