Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher
- bbc
Di berbagai sudut dinding ruangan tamu, Usman memasang foto tentang aktivitasnya di organisasi Veteran.
"Itu bagian dari upaya saya untuk mendapatkan keadilan," ungkapnya. Usman lantas bercerita segudang aktivitasnya saat bersama kaum Republik mempertahankan kemerdekaan.
Tak melulu angkat senjata. Usman juga mendedikasikan hidupnya untuk memajukan Aceh melalui sepak bola. Dia pernah memperkuat tim Aceh pada PON 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kepada kami, dia kemudian menunjukkan foto-foto lama saat dia aktif bermain sepak bola. "Saya dulu berposisi di kiri luar. Saya pemain kidal," ujarnya dengan mata berbinar.
Dia lalu menyebut beberapa pemain idolanya di masa itu, seperti Ramang, Ramli atau Witarsa.
"Ramang kulitnya hitam," Usman terlihat bersemangat ketika berbicara ihwal sepak bola. "Saya pernah memeluk Ramli [saat berlaga] di Medan."
Pada akhir wawancara, sambil berlinang air mata, Usman bercerita bahwa belakangan ini dia bermimpi, upayanya menuntut keadilan itu membuahkan hasil.
"Dan hari ini rupanya bapak yang datang," katanya berulang-ulang seraya matanya menatap saya.
Dia berharap wawancara ini didengar para pemangku di Jakarta sehingga ada jalan agar upayanya mendapatkan keadilan itu didengar.
Saya kemudian berujar perlahan, "Semoga ya, Pak Usman".
`Pulihkan hak-hak saya, demi anak cucu` — Syamsuddin, usia 86 tahun, eks asisten masinis
Trauma puluhan tahun akibat dicap antek PKI, membuat Syamsuddin menghindari kata `PKI` dalam percakapan sehari-hari — demikian pula saat wawancara.
Lebih dari 55 tahun silam, kehidupan pria berusia 86 tahun ini terpuruk setelah gajinya disunat, diusir dari rumah dinas, dan akhirnya dipecat dari pekerjaannya karena dikaitkan dengan G30S.
Semenjak awal 1960an, dia bekerja sebagai asisten masinis. Pekerjaannya, antara lain, memasukkan "kayu ke dalam mesin" di dalam ruangan lokomotif. Ayahnya juga bekerja di jawatan kereta api.
"Waktu ada partai itu..." Syamsuddin, dalam kalimat pertama jawabannya, sama-sekali tak menyebut nama PKI. Dia hanya berulangkali menyebut "partai itu", SBKA" dan "PBKA".
Di hadapan kami, dia mengaku bergabung ke PBKA (Persatuan Buruh Kereta Api) pada 1960an, dan bukan SBKA (Serikat Buruh Kereta Api). Yang disebut terakhir ini berafiliasi ke PKI.
"Kartu [anggota] saya PBKA," tegas Syamsuddin, yang seringkali menjawab dengan bahasa Aceh. Istri dan anaknya kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia.
Namun di tengah pergolakan politik 1965, seseorang yang disebutnya sebagai pimpinannya menuduhnya aktif di SBKA. Hal itu terjadi setelah mereka berselisih secara pribadi.
Tudingan kejam yang membuat hidup Syamsuddin kelak hancur berantakan — kehilangan pekerjaan dan hak-haknya dan masa depannya menjadi gelap.
"Saya dulu pernah ribut dengan ketua PBKA. Entah kemudian, dia memasukkan nama saya ke SBKA. Saya `kena` akhirnya," Syamsuddin mencoba mengingat peristiwa pahit itu dengan getir.
Istri Syamsuddin, Kamariah, memiliki ingatan yang lebih tajam. Suatu hari, sang pimpinan meminta Syamsuddin agar membiarkan gerbong diisi beras untuk diangkut keluar kota.
Namun permintaan itu ditolak Syamsuddin. Dia menganggap gerbong itu untuk mengangkut kayu, bukan beras. "Lagipula beras itu di luar kepentingan dinas," ungkap Kamariah.
"Akibatnya ada keributan. Saya maki-maki [atasannya]," Syamsuddin berkisah. Ujungnya, dia kemudian dilaporkan ke atasannya yang lebih tinggi dan... masa depannya `habis`.
Akhirnya, "dia dituduh terlibat [G30S], dituding anggota SBKA..." Gajinya disunat sampai 1970an, sebelum akhirnya dipecat tanpa pensiun. Dia juga diusir dari rumah dinasnya.
Usai dipecat, Syamsuddin sempat mempertanyakannya ke pimpinan kereta api di Banda Aceh, namun dia keburu patah arang. Lagipula untuk ke ibu kota provinsi, butuh ongkos.
"Kami orang miskin, tidak punya apa-apa. Disuruh anak-anaknya [untuk protes], dia tidak mau lagi," istrinya bercerita. Matanya berkaca-kaca, suaranya gemetar.
Setelahnya, Syamsuddin bekerja serabutan demi asap dapurnya tetap mengepul, termasuk menjadi kuli bangunan. "Susahlah hidup kami."
Di ujung wawancara, Syamsuddin memiliki harapan yang tersisa, yaitu supaya hak-haknya untuk mendapat pensiun dan rumah dinas yang dicabut puluhan tahun silam, dipulihkan.
"Ini untuk cucu-cucu saya. Cucu-cucu saya sudah besar, yang sebagian belum kerja." Suara paraunya memenuhi ruangan tamu. Istri dan anaknya kemudian menggarisbawahinya.
Usai wawancara, Syamsuddin dengan langkah gontai kemudian menekuni kembali aktivitas kesehariannya, yaitu menjaga gubuk toko kelontongnya. Dia sendirian di sana.
`Jenazah ayah dan puluhan lainnya dikubur dalam satu lubang di Langsa` — Kesaksian anak-anak korban pembantaian 1965 di Idi, Aceh
Mariana berusia 16 tahun ketika ayahnya `dijemput` oleh sekelompok orang di rumahnya di Kota Idi, di pesisir timur Aceh.
Abdullah, ayah tirinya, saat itu adalah pimpinan jawatan kereta api di kota itu, dan pimpinan PKI di wilayah tersebut.
Peristiwa itu terjadi 56 tahun silam di pagi hari. Mariana melihat langsung kejadian horor itu dalam jarak kurang dari tiga meter.
"Saya angkat ember [berisi air] untuk mandi pak cik saya," ungkap perempuan kelahiran 1949 ini. Pak cik adalah panggilan untuk ayah tirinya.
Usai mandi, sang ayah hanya sempat mengenakan "celana kolor dan baju" ketika "kerumunan orang" masuk dan "mengambilnya".
"Musuh yang mengambil [ayah tiri saya]", ujar anak sulung dari lima bersaudara ini. Dia tidak merinci apa yang disebutnya sebagai musuh.
Semenjak saat itulah, dia tidak pernah bertemu lagi ayahnya. Pada 1965, ayahnya — panggilan akrabnya `AGT` — dan 20 orang yang dituduh komunis, disembelih.
Mayat mereka dikubur dalam satu lubang di suatu tempat di Kota Langsa — sekitar 75km dari Kota Idi. "Tapi kami tidak bisa melihat [kuburannya]," ujarnya.
"Cuma saya tidak sempat ambil jam dan cincinnya [ayahnya]," ungkapnya.
Akhir Oktober lalu, kami bertemu Mariana di rumah peninggalan orang tuanya yang terbuat dari kayu dan berbentuk panggung.
Keluarga Mariana masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Thaib Adamy — politikus PKI di Aceh yang dieksekusi militer setelah G30S 1965.
Bersama salah-seorang anak Thaib Adamy, Setiady, kami mewawancarai Mariana di ruang tamunya.
Di depan rumahnya, dulu ada rel kereta api jurusan Banda Aceh-Medan, tapi kini sudah tidak berbekas.
Semula Mariana mengira pertanyaan saya seputar `pengalamannya` saat Aceh dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia.