Logo BBC

Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

"Waktu itu masyarakat marah dengan yang dilakukan PKI," ujar Jamil. "Apalagi mereka anti Tuhan."

Dalam atmosfir saling mencurigai ("musuh atau kawan," ujar Jamil), dia turut memobilisasi massa PII di kampungnya setelah mendengar "pidato Pak Dandim dan Bupati Sigli" untuk "mengganyang PKI".

Baca juga:

Dia tidak memungkiri saat itu telah beredar luas informasi bahwa anggota PKI itu "anti Tuhan, mengotori masjid, menginjak al-Quran, dan membunuh kiai seperti tahun 1948."

Jamil masih ingat, massa anti komunis saat itu mendatangi kantor PKI dan merusaknya. Mereka juga melempari dengan batu toko-toko milik warga peranakan Tionghoa.

`Beredar daftar nama-nama yang akan dibantai di Simpang Betung`

Di Kota Sigli, kami juga berjumpa Dhian Anna Asmara, wartawan senior, yang berusia 13 tahun ketika kota itu dihantui situasi genting. Kini rambutnya memutih ketika usianya memasuki 70 tahun.

"Saya ikut-ikutan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan melempari kedai-kedai milik warga peranakan China," akunya.

Kepada Jamil dan Dhian, saya kemudian menanyakan sejauh mana pengetahuan mereka tentang pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh PKI di kota itu.

Dhian mengaku tidak mengetahui langsung pembantaian itu, tapi mendengarnya dari orang lain. Dhian sering mendapat `bocoran` informasi karena salah-seorang temannya anak anggota polisi.

"Ada yang ditangkap polisi dan PM (polisi militer), dinaikkan mobil dan dibawa ke penjara" ujar Dhian. Kebetulan rumah orang tuanya saat itu bersebelahan dengan asrama polisi.

Dia juga ingat saat itu beredar daftar nama-nama yang harus ditangkap.

Beredar pula informasi bahwa sebagian yang ditahan kemudian digelandang ke Simpang Betung di kaki perbukitan Seulawah untuk "digorok lehernya".

Semenjak saat itulah, kawasan tempat lubang-lubang pembantaian itu mendapat predikat "angker", katanya.

Jamil pun mengetahui pembantaian itu dari orang lain. Dia mendengar orang-orang itu ditahan di kantor jaksa atau polisi. "Habis itu, ada yang dipulangkan dan ada yang tidak pulang."

Puluhan tahun kemudian, Jamil tidak bisa melupakan ketika orang-orang yang disebutnya "tidak bersalah" ikut dibantai. "Ini yang saya sesalkan," katanya.

"Kalau kader [PKI], ya terserahlah, itu kan risiko dia. Tapi kalau orang yang tak bersalah, lalu dibantai, itu yang disesalkan," tambahnya. Mereka hanyalah korban fitnah, tandas Jamil.


Kisah dua aktivis buruh kereta api di Sigli yang dipecat gara-gara G30S

Tidak sedikit aktivis buruh kereta api di Aceh yang mati dibunuh atau dipecat dari pekerjaannya akibat huru-hara politik 1965.

Sebelum prahara G30S, sebagianpimpinan dan pegawai menengah atau buruh kereta api di wilayah itu bergabung ke organisasi buruh yang berafiliasi ke PKI.

Ketika pilihan politik itu dijatuhkan, mereka barangkali tidak terpikir bahwa hal itu kelak menghancurkan hidupnya — dan dampaknya dirasakan hingga anak dan cucunya sekarang.

Sebutlah, bekas pegawai kereta api dan nantinya menjadi politikus jempolan PKI di Aceh, Thaib Adamy, misalnya, ajalnya berakhir di hadapan algojo yang menembaknya.

Tidak semua berujung kepada kematian, memang. Ada beberapa kasus mereka dipecat dari pekerjaannya akibat dikaitkan dengan PKI.

Di Kota Sigli, Aceh Timur, kami mewawancarai dua orang bekas buruh kereta api yang hidupnya sempat terpuruk akibat dipecat dari pekerjaannya.

Tindakan itu diambil atasannya, karena mereka dianggap terkait peristiwa G30S 1965, walaupun keduanya berkukuh tuduhan itu sama-sekali tidak benar. Berikut kisahnya:

`Saya tidak bersalah, saya akan terus tuntut keadilan` —Usman Ben, usia 94 tahun, bekas teknisi bengkel kereta api

Sepuluh tahun bekerja sebagai teknisi di bengkel kereta api di Stasiun Sigli, Usman Ben, kelahiran 1928, tiba-tiba kehilangan pekerjaan akibat huru hara politik di akhir September 1965.

"Saya dianggap terlibat G30S 1965," kata Usman saat ditemui di kediamannya di Kampung Blang Paseh, Sigli, Oktober lalu. Dia lalu diusir dari rumah dinas dan hak pensiunnya dicabut.

Pemecatan itu membuat kehidupan keluarga Usman sempat berantakan. Dia dan istrinya dipaksa pontang-panting mencari nafkah demi sesuap nasi.

"Apalagi anak-anak saya masih kecil-kecil saat itu," ujarnya, lirih.

Puluhan tahun kemudian, Usman masih terus bertanya-tanya apa alasan dia dipecat dari pekerjaannya itu.

"Hidup saya di `kanan` selalu, tidak ada kata-kata `kiri`," tegasnya, menggambarkan pilihan politiknya di tahun-tahun gelap itu. Dia mengaku tak tertarik propaganda PKI.

Pada tahun-tahun itu, sebagai pengagum Presiden Sukarno, Usman muda berlabuh ke organisasi Pemuda Marhaen dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ketika politik menjadi panglima, bergabung dalam organisasi politik di tahun-tahun itu —apapun ideologi atau garis politiknya —bukanlah hal yang `diharamkan`.

"Saya pilih PNI, karena saya pikir tidak akan menyimpang. Orang-orang ajak saya ke `kiri`, saya tidak mau," jelas ayah enam anak ini.

Itulah sebabnya, dia mengaku tidak bersalah dan terus menuntut agar hak-haknya dipulihkan — nama baik dan hak mendapat pensiun.

"Kalau saya salah, saya tidak akan berani berjuang," tegasnya.

Baca juga:

Semenjak tahun 1980an, Usman mengadukan nasibnya ke otoritas jawatan kereta api di Aceh hingga kantor pusatnya di Pulau Jawa.

Dia juga berusaha mencari keadilan dengan menemui Gubernur Aceh, Komnas HAM, hingga kantor Wakil Presiden di Jakarta. "Saya bolak-balik, semua sudah saya datangi."

Di hadapan kami, Usman kemudian menunjukkan segepok salinan dokumen berisi berbagai surat pengaduan hingga rekomendasi dari otoritas terkait.

Ada pula surat instansi tertentu yang menyatakan bahwa Usman tak terlibat G30S 1965.

Tapi upayanya itu belum membuahkan hasil — sejauh ini. "Saya marah di hati, tapi sama Tuhan saya serahkan..." Usman akhirnya tak kuasa menahan tangis.