Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher
- bbc
Saya menanyakan ulang hal itu dan Udin tidak membantah ada orang-orang yang menjadi "korban fitnah" dan ikut dibantai di perbukitan Seulawah.
Udin lantas teringat ada satu lokasi pembantaian di kawasan perbukitan itu yang disebutnya "tempat bagi orang-orang yang tidak jelas, bukan orang terlibat, hanya sentimen pribadi". Di sini dia tidak merinci lebih lanjut.
Ketika saya bertanya apakah dia tidak menyesali atas apa yang dilakukannya saat itu, Udin tak menjawab secara eksplisit.
Dia hanya mengingatkan isi tulisan pada secarik kertas yang diberikan kepada saya sebelum wawancara, yaitu Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme — Udin barangkali ingin menjelaskan bahwa keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian itu memiliki alasan hukum kuat sebagai pembenaran.
Baca juga:
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
- Peristiwa 65 dan PKI: wajah para korban dan pelaku
- Rekomendasi Simposium 1965 di tengah kecurigaan terhadap PKI dan komunisme
Dia kemungkinan tidak tahu bahwa aturan hukum itu baru keluar setelah darah berceceran di tanah Aceh — juga di berbagai wilayah lainnya di Indonesia.
Kelak, kejahatan kemanusiaan pasca 1 Oktober 1965 di berbagai wilayah di Indonesia ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
Dan setelah Reformasi 1998, pemerintah Indonesia berjanji untuk menyelesaikannya di luar kerangka pengadilan, walaupun bentuk kongkritnya tidak pernah terealisasi hingga kini.
Di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah bekerja untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM di wilayah itu, namun masih fokus pada periode konflik GAM-Indonesia (1976-2005).
Kembali ke sosok pria yang mengaku "ahli bercakap" ini. Jadi apakah Anda menyesali keterlibatan Anda saat itu?
"Itu urusan pemerintah," katanya pendek. Dia mengaku tak tahu-menahu latar belakang di balik peristiwa 56 tahun silam.
Baca juga:
- KKR Aceh belum juga terbentuk, 10 tahun setelah MoU Helsinki
- Mendirikan museum, merawat perdamaian di Aceh
- Mengapa eks kombatan GAM mengangkat senjata lagi?
- Menilik geliat ekonomi Aceh selama 10 tahun perdamaian
`Saya orang kecil, saya tidak tahu apa-apa`
Dalam bahasa sederhana, dia berusaha menjelaskan latar kejadian kekerasan 1965, yaitu "saling recok" di antara sesama warga Indonesia sendiri.
"Dan saya orang Indonesia juga, walau awal kejadiannya di Jawa," katanya. Udin lebih leluasa mengutarakan kisahnya dalam bahasa Aceh ketimbang bahasa Indonesia.
Walaupun demikian, usai tragedi itu, Udin mengaku rajin menemui seseorang yang disebutnya sebagai ulama. Tapi di sini dia tidak merincinya.
Menurut sumber BBC Indonesia, ulama itu menyarankan agar dirinya mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya pada malam-malam jahanam di perbukitan Seulawah, 56 tahun silam, dalam wawancara kepada BBC Indonesia.
"Supaya tidak menjadi beban," ungkap sumber itu.
Di akhir wawancara, saya lantas bertanya kepada Udin apakah dirinya masih menyimpan perasaan sedih ketika belakangan mengetahui bahwa sebagian orang-orang yang dibantai itu hanyalah korban fitnah, dia tak kuasa untuk menampiknya.
"Oh ada [perasaan sedih]. Panas perasaan... begini keadaan negara... Tapi saya tidak tahu apa-apa. Saya orang kecil."
Nada suara Udin kali ini terdengar lirih — dan tanpa gelak tawa.
`Warga marah terhadap PKI, tapi kenapa orang-orang tak bersalah juga dibantai` - kesaksian dua orang warga Kota Sigli
Puluhan tahun kemudian, setelah orang-orang yang dituduh komunis — dengan kepala dipenggal — ditanam di perbukitan angker itu, suasananya terlihat lengang siang itu.
Tetapi ingatan kolektif sebagian warga Kota Sigli, Kabupaten Pidi Jaya, Aceh, akan lokasi pembantaian di `Bukit Tengkorak` itu, tak juga sirna. Kisah kebiadaban itu masih menghantui.
Seorang warga — tidak mau disebut namanya — yang tinggal tidak jauh dari kawasan `Bukit PKI`, mengaku pernah mendengar informasi tentang penemuan batok kepala manusia di sana.
"Kadang-kadang ada yang menemukan tengkorak [manusia]," ungkapnya kepada BBC News Indonesia. Dia kini mendirikan warung kopi tak jauh dari lokasi penemuan tengkorak manusia.
Seorang warga lainnya, Mustofa, mengaku pernah mendengar informasi bahwa di salah-satu sudut di kebun miliknya, dijadikan lokasi pembantaian.
"Dibilang sama orang, dengar kayak-kayak gitu [lokasi pembantaian]. Tapi lahan [di mana persisnya orang-orang itu disembelih], [saya] enggak tahu juga," ujarnya.
Kami kemudian diizinkan memasuki salah-satu sudut kebunnya, berupa tanah datar yang luas. Udin, yang melihat dari kejauhan, menyebut tanah milik Mustofa dulu adalah berupa hutan lebat.
Tanah milik Mustofa berada di kawasan Simpang Betung. Tapi tindak kekerasan nan biadab itu tak hanya memuat simbolisme geografis di perbukitan sepi itu.
Nama-nama tempat lain yang mengingatkan trauma kekerasan 1965 juga menyebar di pusat Kota Sigli, yang memakan waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan roda empat dari kawasan lubang pembantaian.
Dari pusat Kota Sigli itulah, di malam-malam gelap usai 1 Oktober 1965, ratusan orang-orang yang dicap komunis ditangkap dan sebagian digorok lehernya di Simpang Betung.
Selama dua hari, saya dan jurnalis video Anindita Pradana mendatangi sejumlah lokasi di sudut-sudut kota yang tidak bisa dilepaskan dari tragedi kekerasan 1965.
Di antaranya, kami mendatangi bekas kantor PKI (kini berubah bentuk menjadi masjid) di Kampung Kuala Pidie, dan bangunan penjara (dulu tempat orang-orang komunis ditahan sebelum dieksekusi) yang masih berdiri kokoh.
Kami juga mendatangi eks gedung bioskop Beringin — lokasi pidato pemimpin PKI Aceh, Thaib Adamy, yang membuatnya dipenjara — yang kini berubah menjadi pusat pertokoan.
Tidak jauh dari sana, kami juga menyaksikan deretan pertokoan yang dulu banyak dihuni warga peranakan Tionghoa. Sebagian dari mereka `diusir` di tahun-tahun gelap itu karena dikaitkan dengan G30S 1965.
Dalam liputan selama dua hari di kota itu, kami secara khusus mendatangi Kampung Blang Paseh. Di sana, kami menemui orang-orang yang berada dalam pusaran kekerasan politik 1965.
Di kampung yang tidak begitu jauh dari pesisir pantai ini, tujuh orang warganya dibantai di Cot Betung. Mereka adalah pengurus PKI di Kota Sigli.
Di sana, saya bertemu Teungku Jamil alias Jamil Rasyid, yang kini berusia 80 tahun. Dia berada di barisan anti komunis ketika pembantaian mulai terjadi pada Oktober 1965.
Pada siang yang terik itu, Jamil sudah menunggu kami di teras rumahnya. Dia mengenakan sarung dan kaos oblong, sebelum berganti kemeja batik saat wawancara.
Ketika huru-hara politik pecah, Jamil menjadi pemimpin organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kampung Blang Pase.
Bersama TNI, polisi dan barisan anti PKI lainnya, dia ikut menuntut agar PKI dibubarkan.
Aksi turun ke jalan itu terkait peristiwa pembunuhan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat dan upaya kudeta yang gagal. Saat itu, inilah narasi paling dominan yang mengarahkan telunjuknya ke PKI.