Logo BBC

Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Tugasnya `memantau` rombongan truk yang membawa para pesakitan ke lokasi pembantaian. "Jam sembilan malam, sudah sampai di sini [pos]. Waktu itu gelap dan sepi."

Siapa yang membawa para tahanan itu? Tanya saya. "Campuran," katanya. "Ada TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Jadi ada empat satuan."

Kepada petugas pos, orang-orang yang membawa tahanan komunis itu menunjukkan daftar nama yang akan dibunuh di lokasi itu.

Udin mengaku tidak dipersenjatai, kecuali berseragam lengkap ala anggota Hansip. "Gagah sekali, bersepatu hitam, pakai topi pet kayak tentara."

`Ada 170 orang yang dieksekusi, dua orang anggota Gerwani`

Usai proses eksekusi yang disebutnya berjalan antara 30 menit dan satu jam, para petugas pos — di antaranya polisi — kemudian menerima laporannya.

Dan, "saya jarang melihat [eksekusi], karena tidak cocok dengan pikiran. Makanya saya [menjaga] di pos. Habis leher mereka digorok [di Cot Betung], saya pulang," akunya dengan kalimat datar.

"Saya ingat, ada 170 orang dari Sigli yang dieksekusi di tiga tempat di sini. Tapi ada pula yang kabur," Udin berkisah.

Orang-orang yang dibantai itu, termasuk dua orang anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) asal Kota Sigli dan sekitarnya, ujarnya. Tapi dia mengaku tak mengenalnya.

Apakah tiap malam ada orang-orang yang digorok? "Tidak tiap malam. Kadang-kadang satu minggu satu kali, malam Rabu atau malam Minggu."

Proses pembantaian berlangsung sekitar sebulan, tapi Udin lupa secara persis waktunya. "Pokoknya sebelum puasa Ramadan, antara 1965 dan 1966."

Baca juga:

Semalam bisa sampai 24 orang dibantai di sekitar 10 titik di Cot Betung dan sekitarnya. Setiap lubang bisa berisi antara tujuh sampai 15 orang, ungkapnya.

"Saya tidak menghitung saat eksekusi, tapi saya lihat di daftar laporan setelah eksekusi. Saya melihat di pos, bukan di tempat kejadian perkara," akunya.

`Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi`

Tetapi ketika saya bertanya seperti apa cara pembantaian, Udin menjelaskan secara panjang lebar.

Di hadapan Udin, saya mencoba memperagakan sebagai orang yang akan dieksekusi. Dan dia seolah-olah adalah algojonya.

"[Orang yang akan dieksekusi] Duduk, kakinya [masuk] ke dalam lubang. Algojonya di belakang atau di samping," kisahnya.

Lalu, mereka digorok pada tengkuknya hingga kepalanya terpisah. "Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi. Pegang rambutnya, potong lagi," katanya, sambil menggerakkan tangannya seolah-olah memegang parang dan rambut korban.

Berapa panjang parangnya? Satu meter? Tanya saya.

"Tidak [terlalu panjang]. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang," Udin tergelak dan berkata bahwa parang-parang itu dibikin di Banda Aceh.

`Saya lulus pelatihan jadi algojo`

Udin pun mengetahui bagaimana cara mencari `lokasi` ideal untuk memudahkan penggalian lubang pembantaian. "Yaitu gali lubang di saluran air, supaya tanahnya tidak keras."

Kalimat ini dia utarakan saat kami berada dalam mobil menyusuri ruas jalan tidak jauh dari lubang-lubang pembantaian di Simpang Betung.

Tiba-tiba, "ini tempatnya, pasti," Udin, dari dalam mobil, menunjuk sebuah kawasan yang disebutnya sebagai salah-satu titik pembantaian.

Namun dia tidak bersedia diajak ke lokasi di mana orang-orang itu disembelih. "Saya tidak ingat lagi," akunya.

Di hadapan saya, Udin kemudian mengaku ikut semacam pelatihan untuk menjadi algojo. Caranya seperti apa? Saya bertanya.

"[Kami] diminta bawa parang dan dibentak-bentak. Kalau mukanya pucat, disuruh ke sana. Kalau mukanya merah, diminta ke sini. Lima hari kemudian, saya langsung dipanggil," ungkapnya, seraya tertawa.

Jadi Anda lulus sebagai algojo? Saya bertanya lagi. "Saya lolos, karena muka saya merah." Tawanya kembali meledak. Dia direkrut oleh seorang camat di wilayah tempatnya tinggal.

`Saya masih simpan parang untuk potong leher orang PKI`

Walau mengaku hanya berperan `kecil` dalam proses pembantaian itu, Udin masih menyimpan sebilah parang yang disebutnya "untuk memotong leher orang-orang PKI."

"Kalau bapak mau lihat, silakan. Tapi uang itu penting, [uang itu] bukan untuk saya," katanya saat wawancara akan berakhir. Saya menolak dengan sopan tawarannya itu.

Parang yang sudah keropos itu bahannya dari campuran emas, kemiti dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau.

Dia terus merawat parang itu hingga sekarang. Benda itu disebutnya manjur guna menyembuhkan orang-orang kesurupan.

"Insya Allah sembuh kalau minum air yang direndam dengan parang itu." Sampai di sini saya tidak melanjutkan pertanyaan lebih detil. Saya menahan muntah.

Mengapa tidak ada eksekusi dengan senjata api?

Seperti dia jelaskan di awal, tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di Bukit Tengkorak ditembak dengan senjata api. Semuanya digorok lehernya dengan parang.

"Selain hemat peluru, supaya sepi. Kalau menggunakan senjata api, kan ada bunyi," ungkap Udin.

Di sinilah, Udin teringat bahwa operasi pembantaian itu dilakukan secara "rahasia". Saya kemudian mencatat apa yang dia utarakan saat wawancara.

Pertama, para algojo dan yang menutup lubang pembantaian itu berasal dari kampung tidak jauh dari `Bukit PKI`. Namun, kedua, penggali lubangnya berasal dari daerah lain.

Ketiga, Udin tidak pernah tahu daftar nama orang-orang yang akan dieksekusi di Cot Betung. Daftar nama itu dibawa dari penjara di Kota Sigli. "Saya juga tidak kenal korbannya."

"Ada polisi bersenjata yang turun mendekati truk yang membawa tahanan. Jadi bukan kami [hansip] yang turun," akunya.

Namun menurutnya kadang-kadang daftar nama itu `dibocorkan` sehingga dia akhirnya mengetahuinya — secara sekilas.

`Ada lokasi pembantaian bagi korban fitnah`

Kepada sumber BBC Indonesia, Udin mengaku menyesal terlibat dalam proses pembantaian di perbukitan Seulawah, utamanya ketika belakangan mengetahui bahwa orang-orang yang dibantai itu tidak semuanya anggota PKI.