Kasus Proyek Satelit, Jenderal Andika Perkasa Akan Temui Jaksa Agung

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Jaksa Agung
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa angkat bicara soal kasus proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan pada 2015. 

Analisis Pengamat soal Penyebab Utama PDIP Usung Andika-Hendi Kalah di Jateng

Perkara itu kini ditangani oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ia pun masih belum mengetahui siapa nama-nama yang terduga terlibat dalam perkara tersebut. 

Untuk itu, pada waktu tertentu Jenderal Andika pun akan menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin guna membicarakan masalah itu lebih lanjut. 

Penerbang Tempur yang Kini Jadi Ajudan Presiden Prabowo, Kolonel Anton Raih 2 Trofi Penghargaan Sesko TNI

"Belum, karena untuk lead sector-nya kan Kejaksaan Agung, karena ini koneksitas. Maka kami menunggu, sehingga pada saat saya menghadap Bapak Jaksa Agung, intinya kami bukan lead sector dalam proses hukum," ujar Andika di kantor Kementerian PMK Jakarta, Senin, 17 Januari 2022. 

Dengan catatan, apabila dari penyidik Kejaksaan Agung sudah menemukan siapa saja pelaku dari proyek pengadaan satelit itu, akan menemui Jaksa Agung 

Sambut Hari Armada RI 2024, Lanal Tegal Gandeng Masyarakat Bersih-bersih Laut

"Sehingga saat nanti penyidik Kejaksaan Agung sudah menemukan, baru akan dikoordinasikan dengan kami yang menjadi kewenangan TNI," katanya. 

Menko Polhukam Mahfud MD.

Photo :
  • VIVA.co.id/Irfan

Mahfud sebelumnya melaporkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pengadaan satelit Kemhan pada 2015. Mahfud mengatakan, negara mengalami kerugian ratusan miliar rupiah.  

Dia menyebut, dugaan pelanggaran terjadi pada 2015-2016 dalam membuat Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Proyek tersebut memiliki nilai kontrak sangat besar. Padahal, saat itu, anggarannya sendiri belum ada.  

Mahfud pun menjelaskan Kemhan pada 2015 melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan kerja sama yang anggarannya belum ada. 

Selain Avanti, beberapa perusahaan lain yang terlibat yaitu Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.  

Kata dia, merujuk kontrak tanpa anggaran negara itu jelas melanggar prosedur. Pihak Avanti kemudian menggugat Pemerintah RI di London court of International arbitration.  

Gugatan itu dilakukan karena pihak Kemhan tak bisa membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani. Mahfud menyebut jumlah yang mesti ditanggung negara imbas dari proyek bodong tersebut. 

"Ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp515 miliar. Jadi, negara membayar Rp515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya