Polri Persilakan Ferdinand Ajukan Praperadilan, Begini Kata Pengacara
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Polri mempersilakan eks politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka. Ferdinand jadi tersangka kasus penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran dan mengandung unsur suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
“Itu hak dari tersangka dan kuasa hukumnya, silakan. Memang itu silakan jalur yang ditempuh,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan di Jakarta pada Selasa, 11 Januari 2022.
Pun, pengacara Ferdinand Hutahaean, Zakir Rasyidin mengaku belum kepikiran untuk mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka kliennya tersebut. Menurut dia, proses pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan Bareskrim cukup baik.
“Belum ada (praperadilan). Kita belum terpikirkan soal itu ya. Karena memang kita lihat prosesnya sangat baik sekali ya. Kita lihat dari sisi administrasi saya kira clear ya. Tidak ada yang perlu kita permasalahkan,” jelas Zakir.
Sebelumnya, Ferdinand sempat menolak dilakukan pemeriksaan setelah ditetapkan sebagai tersangka karena alasan kesehatan. Padahal, saat dilakukan pemeriksaan sebagai saksi, dia bersedia diminta keterangannya oleh penyidik.
Dalam kasus ini, penyidik sudah melakukan gelar perkara untuk meningkatkan status Ferdinand dari saksi menjadi tersangka. Ketika itu, ia menolak diperiksa sebagai tersangka.
“Jadi, ketika dinyatakan sebagai tersangka. Kemudian, lanjutan pemeriksaan sebagai tersangka. Setelah dinyatakan tersangka kemudian pemeriksaan sebagai tersangka, yang bersangkutan menolak karena kesehatan,” jelas Ramadhan.
Ferdinand disangkakan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Selain itu, Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang ITE dan ancamannya secara keseluruhan 10 tahun penjara.
Adapun bunyi Pasal 14 Ayat (1) dan (2) KUHP yaitu;
Pasal 14
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Selanjutnya, bunyi Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah
‘Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).’