Reog Ponorogo Diusulkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA – Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur akan mengikhtiarkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang tercatat di United Nation Education Scientific and Cultural (UNESCO). Pemkab Ponorogo akan mengupayakan hal itu melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo.
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko menjelaskan tekad itu sebagai wujud tanggungjawab pihaknya kepada rakyat Ponorogo.
"Yang mana darah dan urat nadi mengalir Reog di dalamnya. Kami menyadari tidak mungkin melakukannya sendiri, sehingga kami mendatangkan tim asistensi yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya," kata Sugiri, dalam keterangannya, Jumat, 24 Desember 2021.
Sugiri meminta semua pihak terkait termasuk komunitas Reog bisa ikut aktif dalam pengusulan ini. Sebab, hal itu adalah kerja besar yang membutuhkan gotong royong.
“Tentu ini kerja besar yang tidak mungkin Pemkab Ponorogo lakukan sendirian. Kita harus bergotong royong untuk mewujudkan hal ini agar Reog Ponorogo berhasil diakui UNESCO," jelas Sugiri.
Koordinator Tim Asistensi, Hamy Wahjunianto menyampaikan, tim yang dipimpinnya diberi tugas khusus oleh Bupati Ponorogo untuk mengawal program ini. Hamy menyebut proses pencatatan ini bisa dilakukan dua tahun sekali sehingga paling lambat akhir Maret 2022 dokumen ini harus sudah selesai.
"Kami mohon doa restunya semoga upaya kami membantu masyarakat dan Pemkab Ponorogo menjadikan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda bisa terealisir pada akhir 2023," tutur Hamy.
Demi merealisasikan program tersebut, tim asistensi siap menghadirkan fasilitator Global Network Facilitator of ICH UNESCO in The Asia Pacific Regional, Harry Waluyo. Dia mengatakan, banyak kriteria yang harus dipenuhi sebagai standar pencatatan di UNESCO.
Menurut dia, persyaratan ini juga mutlak untuk Pemkab Ponorogo yang ingin mendaftarkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda dunia. Kriteria itu antara lain:
1. Menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tidak ada diskriminasi gender, tidak eksklusif, melibatkan semua stakeholder dan memperhatikan pelibatan kaum difabel.
2. Menjunjung tinggi keberagaman budaya. Tidak ada standarisasi dan dominasi. Bisa menerima dan mengakomodir perbedaan dan menjadikan komunitas sebagai lokomotif pelestarian budaya.
3. Pembangunan berkelanjutan sehingga eksistensi dan pelestarian budaya harus benar-benar memperlihatkan lingkungan.