KPK Sebut Perhitungan Kerugian Negara Kerap Hambat Penuntasan Perkara
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA – Penuntasan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa, terutama yang terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor kerap terhambat proses perhitungan kerugian keuangan negara. Hal ini tidak hanya dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi juga kepolisian dan kejaksaan.
"90 persen lebih perkara di daerah itu menyangkut Pasal 2 Pasal 3 pengadaan barang dan jasa, praktis di situ harus ada pembuktian terkait kerugian negara, ini yang selama ini sering terhambat teman-teman penyidik di kejaksaan daerah itu," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata kepada awak media, Rabu, 22 Desember 2021.
Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20Â Â tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Sementara Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor menyatakan, "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Dengan rumusan itu, kedua pasal tersebut menyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara. Sementara, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2016 menyebutkan instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK.
Sedangkan instansi lainnya, seperti BPKP, inspektorat dan sebagainya tetap berwenang melakukan pemeriksaan, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
Menurut Alexander, perhitungan kerugian keuangan negara ini menjadi perdebatan yang cukup alot di antara aparat penegak hukum.
Meski tak selalu meminta BPK, aparat penegak hukum, terutama di daerah sering kesulitan merampungkan penyidikan kasus korupsi karena lamanya proses perhitungan kerugian keuangan negara.
"Mereka selalu mengeluhkan lamanya audit, meskipun mereka tidak hanya meminta BPK, tapi lebih banyak sebetulnya BPKP, dari situ saja sebetulnya SEMA ini sudah kehilangan maknanya, karena teman-teman penyidik meminta bantuan BPKP untuk audit," kata Alex yang juga pernah menjadi hakim pengadilan Tipikor tersebut.Â
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan penyidik sendiri bisa melakukan perhitungan kerugian negara menjadi angin bagi penegak hukum. Menurut Alex, dalam sejumlah perkara korupsi seperti pekerjaan fiktif, kerugian keuangan negara dapat tergambar ketika uang negara atau daerah sudah dikeluarkan untuk suatu pekerjaan, namun pekerjaan itu tidak dilaksanakan.Â
"Apakah masih perlu audit? wartawan pun pasti sudah bisa hitung kerugian negara, ya sejumlah uang itu lah yang dikeluarkan, berarti tidak perlu audit, kasarnya seperti itu. Jadi penyidik juga bisa, hakim dengan bukti pengeluaran uang, enggak ada imbalannya, pasti juga yakin, kan begitu. Pertanyaan selanjutnya sebetulnya siapa dalam perkara korupsi itu yang menentukan besarnya kerugian negara, yang nanti akan dibebankan ke pidana? bukan BPK, bukan BPKP, bukan penyidik, dan sebagainya, tetapi yang menentukan itu hakim, lewat putusannya tadi," ujarnya.
Dalam putusannya, hakim akan menyatakan nilai kerugian keuangan negara dan pihak yang bertanggung jawab untuk mengembalikan kerugian negara. Dengan begitu, terang Alex, hakim yang menentukan kerugian negara, sementara basil audit hanya menjadi alat bantu bagi hakim mengungkap terjadinya kerugian negara.
"Apakah (hasil audit) itu mengikat? Oh tidak. Tentu tidak mengikat hakim harus setuju dengan hasil audit. Ya kalau hakim mau setuju dengan hasil audit ya enggak masalah gitu kan. Tetapi itu tadi, tidak harus terikat pada hasil audit. Karena hasil audit itu atau perhitungan kerugian negara itu hanya salah satu unsur dalam proses pembuktian perkara korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3," katanya.
Untuk itu, menurut Alex, KPK membentuk Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi. KPK pun mengapresiasi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II dengan terdakwa mantan Dirut PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino.
Dalam putusannya, dua hakim anggota Pengadilan Tipikor mengakui perhitungan keuangan negara yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
"Saya mendorong supaya kita punya unit baru deteksi analis korupsi itu, kita punya akuntan forensik ya saya kira kalau dari sisi kemampuan kapasitas juga punya kompetensi di sana dalam menghitung kerugian negara. Saya mendorong, pimpinan mendorong supaya dilakukan penghitungan kerugian negara menyangkut ya PBJ-nya, dan itu sudah dilakukan," imbuhnya.