Belajar Toleransi dari Penganut Sunda Wiwitan dan Muslim di Cireundeu
- bbc
"Kami ingin belajar toleransi di Cireundeu," kata Effendy. "Bagaimana beragama ramah kemanusiaan, itulah yang kami angkat."
Menurut kajian Setara Institute, lembaga swadaya masyarakat yang menyelenggarakan kajian-kajian mengenai keberagaman, guru-guru agama adalah aktor yang paling dominan dalam pembentukan paham keagamaan murid-muridnya.
Dengan kata lain, gejala intoleransi yang muncul di kalangan pelajar, boleh jadi dibentuk dari pengajaran-pengajaran guru agama di sekolah.
Kang Yana mungkin belum mendengar kajian tersebut. Tapi dia punya pengalaman dan paham betul diskriminasi yang dialami anak-anak Kampung Cireundeu, yang juga kerap dilakukan guru-guru agama.
Karena ketiadaan guru-guru agama Sunda Wiwitan, anak-anak yang berasal dari kelompok ini harus belajar dan mengikuti ritual-ritual keagamaan di sekolahnya. Inilah yang mendorongnya bersemangat. Dia tidak henti-henti berbicara dan menerima pertanyaan mahasiswa-mahasiswa UNJ di sore yang kehujanan itu.
Di Indonesia ada 187 aliran kepercayaan yang tercatat. Dalam praktiknya, kelompok Sunda Wiwitan ini kerap mengalami diskriminasi, mulai dari dianggap sebagai aliran sesat hingga harus mencantumkan agama yang bukan mereka anut di dalam KTP.
Setelah menunggu puluhan tahun, Mahkamah Konstitusi pada 2017 memutuskan bahwa "negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)".