Belajar Toleransi dari Penganut Sunda Wiwitan dan Muslim di Cireundeu
- bbc
Kampung Adat Cireundeu cuma berjarak sekitar 15 menit dari pusat Kota Cimahi, bekas kota militer kolonial Belanda yang bertetangga dengan Kota Bandung.
Kawasan ini nyaris terisolir dan tenggelam bersamaan dengan dijadikannya bukit-bukit mereka menjadi lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah yang menampung sampah kota dan kabupaten sekitarnya, termasuk Kota Bandung. Leuwigajah ditutup menyusul tragedi longsor sampah yang merenggut ratusan nyawa pada tahun 2005.
Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus naik-turun, menyusuri kontur kampung di perbukitan yang diisi oleh rumah-rumah yang berimpitan seraya berpapasan dengan penduduk dan anak-anak yang ramah.
Bentuk rumahnya mungkin sama saja dengan bentuk rumah kampung-kampung kota lainnya di Cimahi. Mereka juga tak melulu memakai baju adat Sunda sebagai baju sehari-hari. Televisi, handphone, dan aneka jajanan dengan plastik warna-warni adalah kelaziman.
Dari atribut fisik, pengunjung awam nyaris tak bisa membedakan, mana yang menganut Sunda Wiwitan dan mana yang Muslim. Mereka telah hidup berdampingan berpuluh tahun tanpa konflik yang berarti.
"Pasti di kepala mahasiwa-mahasiswa banyak pertanyaan. Apalagi ini (mahasiswa) PAI (Pendidikan Agama Islam). Akan banyak membandingkan. Kami hidup dengan keanekaragaman. Jadi masuk ke rumah ini ada yang Muslim. Ada juga yang Sunda Wiwitan. Tidak bisa dibedakan," kata Kang Yana lagi.
Dosen pendamping, Muhamad Ridwan Effendy, mengetengahkan alasan memilih kampung ini sebagai lokasi penelitian bagi mahasiswa-mahasiswanya.