DPR Ingatkan Kasus Asusila 12 Santri Jangan Jadi Panggung Pilpres 2024
- satu jam lebih dekat-tvOne
VIVA – Kasus asusila oleh seorang guru boarding school di Bandung, Jawa Barat, terhadap 12 muridnya hingga melahirkan menyakitkan publik. Kasus serupa kembali terungkap di Cilacap, Jawa Tengah, setelah seorang guru agama ketahuan merudapaksa 15 siswi.
Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan menilai, para pelaku tidak hanya harus dijerat hukuman maksimal hingga kebiri untuk memutus rantai potensi pelecehan, tetapi juga harus dibatasi mobilitas fisik dan mobilitas sosialnya. Sebab, dampak perbuatan bejat pelaku merusak kondisi sosial para korban.
"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban jawaban sosial, karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang," ujar Farhan dalam keterangan persnya, Senin, 13 Desember 2021.
Kasus asusila di Bandung kini disorot publik agar pengadilan memberi hukuman berat. "Memang sangat memprihatinkan. Tetapi sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga," ujarnya.
Dengan kejadian tersebut, Farhan menilai, jadi momentum untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU itu akan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat secara proporsional.
"Pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya. Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut? Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," katanya.
Farhan juga menekankan agar pemerintah daerah untuk hadir memberi perlindungan kepada para korban dengan intensif. Dia mengapresiasi langkah cepat aparat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Atalia Kamil, istri Gubernur Ridwan Kamil, yang memberi perlindungan dan pemulihan untuk korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial.
Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak, terutama yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir, kata Farhan, menjadi prioritas utama.
Dia mengingatkan juga, pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir. Dia menyerukan semua pihak untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam pemenuhan hak para korban.
"Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024--sangat tidak manusiawi," ujarnya.
Dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai kebiri kimia, dia menjelaskan, ada satu hal yang belum diberlakukan, yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman. Tindakan itu akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku.
"Tujuannya untuk memberikan efek jera, bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut. Sayangnya, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori extraordinary crime, sehingga tidak bisa berlaku surut. Akibatnya perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu," katanya.