Jokowi Diminta Respons Pemberhentian Sekda Papua Dance Yulian
- VIVA.co.id/ Aman Hasibuan (Papua)
VIVA – Kuasa hukum Dance Yulian Flassy, Haris Azhar melayangkan upaya administratif keberatan kepada Presiden Republik Indonesia atas terbitnya Keputusan Presiden Nomor 148/TPA Tahun 2021 yang memberhentikan dengan hormat Dance dari jabatannya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Papua.
Dance Yulian Flassy adalah Pejabat Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Papua yang dilantik pada tanggal 1 Maret 2021 dan diberhentikan pada 11 Oktober 2021. Menurut Haris, pengangkatan Dance Yulian memang menunjukan berbagai kontroversi mulai saat pertama diangkat.
Nama Dance bukan pilihan prioritas yang diminta oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe. Sementara Gubernur Lukas Enembe (melalui Wakil Gubernur saat itu, Klemen Tinal) melantik Doren Waker sebagai Sekertaris Provinsi Papua.
"Pelantikan pun tidak dilakukan oleh Lukas Enembe, melainkan oleh Mendagri dan dilakukan di Jakarta." kata Haris dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 10 Desember 2021.
Haris menambahkan terdapat dualisme Sekda Provinsi Papua. Mendadak pada 11 Oktober 2021, terbit Keputusan Presiden Nomor 148/TPA Tahun 2021 yang memberhentikan dengan hormat Dance dari jabatannya.
"Hasil investigasi kami, menemukan sejumlah kejanggalan dan kesalahan dalam proses pemberhentian Dance sebagai Sekretaris Daerah," ujarnya.
Haris menyebut, keputusan pemberhentian Dance dari jabatannya sebagai Pimpinan Tinggi Madya dalam Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua didasarkan atas rekomendasi yang keliru.
Tak hanya itu, pemberhentian Pejabat Pimpinan Tinggi Madya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan, sampai dengan terbitnya Keputusan pemberhentian, tidak ada alasan yang jelas dan dapat dipenuhi sebagai dasar pemberhentian Dance dari Jabatan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua.
"Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya alasan pemberhentian dalam dokumen pemberhentian Dance. Baik dari Keppres 148/TPA Tahun 2021, maupun dokumen pendukung lainnya." ujar Haris.
Sementara sampai dengan saat ini, naskah keputusan pemberhentian tersebut tidak diberikan kepada Dance selaku pihak yang disebutkan dalam Keputusan tersebut. Padahal, Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa suatu Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam keputusan tersebut, paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan.
Berdasarkan kejanggalan di atas, Haris menggunakan upaya administratif berupa keberatan kepada Presiden Republik Indonesia atas terbitnya Keputusan Presiden Nomor 148/TPA Tahun 2021 pada 12 November 2021 sesuai dengan mandat Pasal 75 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No.30/2014).
"Sayangnya hingga hari ini, tidak ada tindak lanjut atas proses keberatan dari Presiden RI. Padahal, keberatan terhadap keputusan wajib diselesaikan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sesuai dengan amanat Pasal 77 ayat (4) dan (7) UU No. 30/2014," kata Haris.
Haris menilai sejak awal, nuansa politis sangat dominan dalam pengisian jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Papua, terutama paksaan dari Pemerintah Pusat atas nama tertentu yang berujung pada pemberhentian Dance yang menabrak sejumlah aturan hukum.
"Kami mendesak Presiden RI sebagai Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 148/TPA Tahun 2021 harus segera menindaklanjuti dan menyelesaikan upaya administratif keberatan terhadap Keputusan tersebut untuk menyudahi praktik tidak tertib hukum dalam pengisian jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Papua,” ujarnya.