ICW Sebut Pemberantasan Korupsi di Titik Nadir, Mengkhawatirkan
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan masyarakat perlu menyadari bahwa menyandarkan harapan tinggi pada negara untuk memberantas korupsi akan jatuh pada mimpi belaka.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo. Menurut dia, momentum Hakordia ini seharusnya dapat menjadi titik balik perlawanan masyarakat terhadap korupsi.
"Karena korupsi selalu mengorbankan kita sebagai warga masyarakat. Mari perkuat suara kita, mari kita perkuat peran kita untuk melawan korupsi," kata Adnan kepada awak media, Jumat, 10 Desember 2021.
Adnan menilai, pemberantasan korupsi kian mendekati titik nadir. Fenomena state capture, dimana cabang-cabang kekuasaan negara semakin terintegrasi dengan kekuatan oligarki untuk menguasai sumber daya publik dengan cara-cara korup terjadi di berbagai bidang.
"Demikian halnya, penanganan pandemi COVID-19 justru dimanfaatkan sejumlah elit politik yang berkelindan dengan pelaku bisnis untuk meraup keuntungan di tengah kemerosotan ekonomi dan peningkatan masalah sosial," ujarnya.
Janji Pemberantasan Korupsi Tak Terwujud
Janji yang disampaikan oleh pemerintah untuk memperkuat pemberantasan korupsi juga dinilai tidak terwujud. Sebaliknya, masyarakat terus menjadi korban atas kejahatan korupsi.
"Sejumlah survei terbaru yang telah dirilis berbagai lembaga telah menggambarkan situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan," ujarnya.
Misalnya, sambung Adnan, Indeks Perilaku Antikorupsi 2021 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Temuannya menunjukan adanya peningkatan praktik suap-menyuap yang dilakukan masyarakat saat mengakses pelayanan publik.
Hal itu pun diperkuat oleh survei Litbang Kompas yang dirilis beberapa waktu lalu. Setidaknya hampir setengah dari total responden mengatakan perilaku korupsi semakin parah di tengah masyarakat.
"Sedangkan dari sisi negara, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga anjlok, baik skor maupun peringkatnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir," ujarnya.
Bahkan, kata Adnan, lembaga survei Indikator Politik memberi peringatan serius atas fenomena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Temuan-temuan di atas, menurut Adnan, bukan hal mengejutkan lagi. Sebab, satu tahun terakhir masyarakat dapat secara jelas melihat agenda pemberantasan korupsi semakin dikesampingkan oleh negara.
"Bagaimana tidak, dari aspek penegakan hukum saja, kebijakan atau keputusan yang diambil justru semakin tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh," ujarnya.
Contohnya, lanjut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak pengujian materi UU KPK, penghapusan syarat memperketat remisi bagi koruptor oleh Mahkamah Agung (MA), hingga vonis ringan atas kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik.
Senada disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Menurut dia, agenda penguatan KPK sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi jauh panggang dari api. Kebijakan politik revisi UU KPK, terpilihnya komisioner KPK bermasalah, pemecatan puluhan pegawai lembaga antirasuah secara ugal-ugalan melalui Tes Wawasan Kebangsaan mencerminkan bukti pelemahan antikorupsi, alih-alih penguatan.
"Celakanya, Presiden tidak mengambil tindakan berarti, meskipun rekomendasi lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM yang menemukan praktik pelanggaran serius atas TWK KPK. Bisa dikatakan, Presiden gagal menjadi panglima besar dalam agenda pemberantasan korupsi," ujarnya.
Kurnia menyebut, meredupnya kebijakan politik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi dapat dipotret dari politik legislasi nasional.
Sejumlah regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional prioritas.
"Merosotnya upaya pemberantasan korupsi berimbas pada semakin buruknya pengelolaan etika pejabat publik. Praktik rangkap jabatan publik, menyatunya kepentingan politik dan bisnis, seperti konflik kepentingan pejabat dalam bisnis PCR dan obat-obatan dalam penanganan pandemi COVID-19 menjadi bukti konkret melemahnya tata kelola pemerintahan," imbuhnya.