Pakar Hukum Anggap Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Asabri Berlebihan

Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat jadi tersangka kasus Jiwasraya
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menyebut, tuntutan pidana hukuman mati terhadap Presiden PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi Asabri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), tidak tepat. 

Satu Keluarga Terancam Hukuman Mati gegara Pabrik Narkoba, Modus Biadab Pria Cabul di Tangsel

Menurut Nur, ada dua alasan mengapa tuntutan JPU tersebut dianggapnya tidak tepat.

“Yang pertama alasannya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU),” kata Nur kepada awak media, Selasa, 7 Desember 2021.

Ibu Gadis Remaja yang Dikubur Tanpa Busana: Nyawa Dibayar Nyawa, Tembak Mati Saja

Nur menjelaskan, jaksa hanya mencantumkan Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor dalam surat dakwaannya. Dalam pasal tersebut, kata dia, tak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. 

Ancaman pidana hukuman mati justru terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan JPU terhadap Heru Hidayat.

Trump Bakal Berlakukan Lagi Hukuman Mati Jika Jadi Presiden AS

“Apakah Pasal 2 ayat (2) itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” jelasnya.

Alasan kedua, lanjut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Sebab, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri. 

Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan. Dimana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.

“Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri, itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan pengulangan tindak pidana,” kata Nur.

Bukan Korupsi yang Diulang

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan, dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri. 

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” jelasnya.

Konkursus realis ini, dikatakan Nur, berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi, setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. 

“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya