Jaksa Agung Kaji Hukuman Mati untuk Koruptor, Dicap Bukan Solusi

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin
Sumber :
  • ANTARA

VIVA – Langkah Jaksa Agung ST Burhanuddin yang sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi alias koruptor di Indonesia masih menjadi polemik. Kini, para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menentang wacana hukuman mati tersebut.

Ngeri, Siswa SMP di Depok Tusuk Teman hingga Tewas Sambil Selebrasi Angkat Sajam

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

"Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, atau pun metode eksekusi yang digunakan," kata Usman melalui keterangannya pada Minggu, 5 Desember 2021.

Mahfud MD Bantah Isu Bakal Dilantik Menjadi Jaksa Agung

Menurut dia, berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa yang efektif untuk mengurangi tindakan kriminal adalah kepastian hukum, bukan tingkat beratnya hukuman tersebut. Maka, ia menilai hukuman mati tidak akan memberi efek jera.

"Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera," ujarnya.

Anggota Geng Motor di Deli Serdang Tewas Dilempar Batu, 2 Penjaga Alat Berat Jadi Tersangka

Dia mengingatkan bahwa negara-negara yang tingkat korupsinya rendah berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi TII seperti Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia itu tidak menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

Memang Usman menyebut ada beberapa negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Irak. Tapi lanjut dia, negara tersebut malah memiliki tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi. Bahkan, beberapa di antaranya lebih tinggi daripada Indonesia.

"Jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, harusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lain fokus memastikan bahwa semua pelaku korupsi bisa dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati," kata mantan Ketua Badan Pekerja KontraS ini.

Lanjut Usman, hukuman mati sudah terbukti tidak efektif sebagai solusi pemberantasan korupsi. Daripada sibuk dengan wacana hukuman mati, Kejaksaan seharusnya fokus kepada banyak PR (pekerjaan rumah) besar yang belum mereka selesaikan.

“Misalnya, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi dan Trisakti,” kata dia.

Sebelumnya diberitakan, Jaksa Agung Burhanuddin mengaku sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Menurut dia, perbuatan para koruptor bukan hanya merugikan uang negara tapi berdampak luas kepada masyarakat.

“Kami sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai HAM,” kata Burhanuddin melalui keterangannya pada Kamis, 28 Oktober 2021.

Ia menyebut kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung tidak hanya merugikan keuangan negara tapi juga berdampak luas bagi masyarakat, yakni kasus korupsi pengelolaan dana investasi pada PT Jiwasraya dengan kerugian Rp16,8 triliun dan PT Asabri nilai kerugian Rp22,78 triliun.

“Perkara Jiwasraya menyangkut hak orang banyak dan hak pegawai dalam jaminan sosial. Begitu juga perkara korupsi di Asabri, terkait hak seluruh prajurit dimana ada harapan besar untuk masa pensiun dan masa depan keluarga mereka di hari tua,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya