Hari AIDS Sedunia: Perempuan Papua dengan HIV Berjuang Tepis Stigma
- bbc
Alokasi anggaran kesehatan yang sebelumnya dialokasikan sekurang-kurangnya 15?lam Undang-Undang Otsus Papua, kini direvisi menjadi 20?lam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua jilid II.
Akan tetapi, menurut mantan kepala dinas kesehatan Papua, Aloysius Giay, dalam implementasi Otsus Papua jilid I, "hanya beberapa kabupaten yang bisa mencapai minimal 15%.
"Di kabupaten tertentu, anggaran di bidang kesehatan kadang-kadang 10%, 8%. Yang mencapai 15% ke atas itu sedikit.
"Pada kabupaten tertentu, saya tidak melihat program prioritas menjawab masalah masyarakat, apalagi yang menghilangkan nyawa masyarakat seperti HIV/AIDS, malaria, atau kurang gizi."
"Saya lihat belum greget untuk menangani ini tuntas secara luar biasa," ungkap Aloysius.
Lantas, bagaimana anggaran kesehatan itu terimplementasi dalam penanganan HIV/AIDS di Papua?
Aloysius mengungkapkan bahwa dana Otsus untuk instansi dinas kesehatan dan rumah sakit terbilang sedikit. Sebab, dana tersebut lebih banyak untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah.
"Sehingga ya paling di dinas kesehatan itu dulu kita sifatnya hanya bimkes, evaluasi. Hanya itu, tidak ada langsung tindakan ke masyarakat."
Adapun, pada akhir Oktober silam, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Yanuel Matuan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah AIDS Papua tahun 2019 oleh Kejaksaan Tinggi Papua.
Kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp7 miliar itu diduga dilakukan dengan modus pembelian obat oleh Ketua KPA Papua pada tahun 2019.
Akan tetapi, obat tersebut memiliki izin edar dan tanpa melalui proses lelang.
Siti Soltif menganggap KPA Papua "mati suri" selama beberapa tahun terakhir. Sebab, dana yang semestinya digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, justru disalahgunakan untuk membeli obat yang efektivitasnya dipertanyakan.
"Dana yang dikucurkan ke KPA untuk kepentingan penanggulangan, disalahgunakan untuk membeli obat MLM Purtier Placenta. Jadi pasien dikejar untuk minum Purtier Placenta, padahal kita sudah punya ARV," terang Siti.
Jika sebelumnya KPA memfasilitasi sejumlah program dan pelatihan untuk ODHA, lanjut Siti, kini program-program tersebut tak ada lagi.
"Dana itu digunakan oleh segelintir orang di KPA untuk kepentingan mereka," kata Siti.
Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah pusat hanya bisa memberikan petunjuk, dan mensinkronkan program di pemerintah pusat dengan program prioritas di daerah, baik di provinsi dan kabupaten kota.
"Saya rasa pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten kota, sudah sangat paham bahwa HIV/AIDS itu adalah masalah yang memang harus menjadi prioritas di Tanah Papua karena melihat angka kejadian baik kasus HIV, juga kasus AIDS. Kasus AIDS terjadi karena kita sering terlambat," katanya.
Nadia melanjutkan bahwa pemerintah pusat telah mewajibkan kabupaten dan kota melakukan testing secara rutin kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten kota.
"Ini harapannya kalau kita bisa melakukan testing dengan dini, kita bisa segera mendapatkan kasus orang dengan HIV/AIDS lebih dini," katanya.
Akan tetapi, Agustinus Adil, yang telah lama berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS di Papua, mengatakan kendati alokasi dana untuk kesehatan tersedia, namun seringkali tak dibarengi dengan ketersediaan alat kesehatan, seperti keterbatasan ketersediaan reagen untuk pengetesan HIV yang terjadi beberapa bulan terakhir.
"Yang penting ada reagen. Daripada penanganan sudah baik tiba-tiba terkendala dengan [tidak ada reagen] itu artinya tidak mencapai sasaran."
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.
Laporan tambahan untuk tulisan ini oleh wartawan Alfonso Dimaradi Jayapura.
Tonton kembali video ini: