Hari AIDS Sedunia: Perempuan Papua dengan HIV Berjuang Tepis Stigma
- bbc
"[Di] Papua, satu rumah sakit saja ada 15 kasus [baru]. Ini baru satu rumah sakit, belum rumah sakit yang lain. Yang riskan juga ibu hamil, ibu hamil kita tidak melakukan terapi hanya dengan sekali tes karena persyaratan harus tiga reagen."
"Akhirnya penanganan untuk selanjutnya terbengkalai," tegas Agus.
Kelangkaan reagen ini diakui oleh Siti Nurjaya Soltif, perawat yang menangani pasien HIV/AIDS di RSUD Jayapura.
"Reagen ini selama satu tahun terakhir kosong, baik di puskesmas maupun di rumah sakit, sebenarnya ini di seluruh Indonesia," ujar Siti.
"Kalau pun ada, kami suruh pasien pergi ke klinik swasta dan itu bayarnya mahal, Rp300 ribu. Jadi yang mampu saja yang bisa. Jadi ini juga dilema, jadi akhirnya pasien tidak bisa didiagnosis," aku Siti.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa sejak pandemi - bukan hanya program HIV, tapi hampir semua program-program esensial, termasuk tuberculosis, imunisasi, dan malaria - "sedikit terganggu".
"Di sisi lain, masyarakat juga agak sedikit takut untuk datang ke layanan fasilitas kesehatan, karena takut tertular Covid dan isu-isu lain, bahwa nanti malah terpapar dan sebagainya. Jadi ini memang tantangan-tantangan yang kita hadapi," kata Nadia.
Strategi pelayanan di tengah pandemi
Betapapun, Nadia menegaskan bahwa pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.
Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.
Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.
"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," katanya.
Bagi mereka yang khawatir untuk mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengakses obat, Nadia mengatakan, petugas di layanan kesehatan akan mengirim obat tersebut.
"Atau alternatif kedua, kalau dia punya dampingan, artinya punya teman-teman kelompok dukungan sebaya, melalui kelompok dukungan sebaya inilah dititipkan obatnya untuk dipastikan juga bahwa mereka betul-betul minum obat," ujar Nadia.
Adapun, bagi ODHA yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan - seperti pemeriksaan CD4 (tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi sistem imun orang dengan HIV) atau viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) - mereka bisa tetap menjalani pemeriksaan sebagaimana mestinya di fasilitas kesehatan, dengan protokol kesehatan yang ketat.
Strategi pelayanan semacam itu, juga diterapkan di RSUD Jayapura, ujar Siti Soltif, perawat di rumah sakit tersebut.
"Jadi obat saya kasih umpamanya biasanya satu bulan, kita kasih jadi dua bulan. Kalau dia sangat sehat sekali dan rumahnya jauh, kita kasih tiga bulan." katanya.
"Tapi kalau yang ada keluhan, ya seperti biasa, ada yang satu minggu, dua minggu, tergantung kebutuhan. Yang pasti dengan adanya pandemi ini, pelayanan kami tetap jalan."
Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan pemberian obat multi-bulan, atau dikenal dengan istilah WHO multimonth dispensing, adalah "sebuah pendekatan yang sangat baik".
Ia mengatakan, metode ini sudah dijalankan di luar negeri sebelum Covid, dengan tujuan agar pasien-pasien yang dinilai sudah stabil, artinya mereka sudah tidak lagi banyak membutuhkan monitor dari dokter setiap bulan, itu bisa diberikan obat setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali.
"Tujuannya supaya jelas itu memangkas biaya, memangkas waktu. Juga kita tahu bahwa masih tinggi stigma dan diskriminasi di lapangan, kalau dia semakin jarang ke layanan kan semakin baik. Jadi sebenarnya ini strategi yang disarankan WHO," kata Aditya.
Belum ada `greget` tangani HIV/AIDS di Papua
Kesehatan adalah salah satu dari empat bidang prioritas dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, selain pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur.
Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 triliun pada 2020 kemarin.
Dana Otsus itu, diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.