Hari AIDS Sedunia: Perempuan Papua dengan HIV Berjuang Tepis Stigma
- bbc
"Walaupun saya sudah tidak sama-sama dengan saya pu suami, sudah ditinggalkan, tapi masih ada satu anak yang saya harus urus," aku Konstance.
Sama seperti orang dengan HIV/AIDS yang lain, stigma dan perlakuan diskriminatif pernah dialami oleh Konstance.
"Macam pas ibadah itu, biasa duduk dengan saya, waktu itu langsung tiba-tiba dong berdiri. Tapi kadang saya rasa trapapa, biasa saja."
"Terus saya cuma bilang, sampai air mata keluar tapi saya tahan, `Ya Tuhan, saya hanya datang untuk beribadah,` Lagi pula gereja kan bukan dia pu gereja. Kalau dia mau pindah, pindah saja."
"Kalau menurut saya itu tidak perlu, karena sa pikir HIV ada obatnya karena saya datang berobat terus. Ternyata minum obat ARV tidak apa-apa, sehat saja," katanya.
Merangkul sesamanya yang putus obat
Statusnya sebagai orang dengan HIV (ODHIV), membuat Konstance harus mendatangi layanan VCT di RSUD Jayapura secara berkala untuk konseling dan mengakses obat ARV.
Hingga akhirnya pada 2018, ia bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya, wadah bagi penderita HIV untuk saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.
Sebagai Penjangkau Sebaya, Konstance membantu sesamanya untuk mengakses obat ARV yang begitu penting dalam memperlambat proses replikasi virus HIV yang sangat mudah bermutasi dan menyerang sistem kekebalan tubuh.
"Biasa kalau macam teman-teman tidak datang untuk ambil obat, kalau kita lihat mereka tidak datang, kita cari ke rumah mereka untuk datang ambil obat."
"Kita cari macam teman-teman yang putus obat, yang harus di-follow up, kita ajak ke layanan untuk berobat. Kita cari ke rumah mereka," katanya.
Linggas Buiney, perempuan berusia 36 tahun yang dinyatakan positif HIV sejak 2010, mengaku sering "anggap remeh" minum obat secara teratur, hingga akhirnya dirinya terserang penyakit.
"Dari situ langsung tidak mau putus lagi, karena tanggung jawab masih ada jadi sudah, tidak berani untuk putus lagi," kata Linggas.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giay, mengatakan banyak dari mereka yang terpapar HIV di Papua tak menyadari pentingnya minum obat ARV secara rutin.
Mengikuti aturan minum ARV secara teratur, kata Aloysius, merupakan bagian yang penting dalam memerangi penyakit yang menyerang sistem imun ini.
"Obat ARV ini kan diminum setiap hari, tapi mereka kira minum itu satu bulan-dua bulan lalu sembuh. Tahu-tahu tidak sembuh. Jadi mereka kadang-kadang, `Ah ini petugas kesehatan dong tipu`, macam begitu kepercayaannya, padahal semestinya minum obat terus kan," ujar pria yang pernah menjabat sebagai direktur RSUD Jayapura ini.
Di sisi lain, kata Aloysius, banyaknya penderita HIV di Papua yang tak melanjutkan minum obat karena masih kuatnya resistensi masyarakat Papua tentang wabah tersebut.
Ia mencontohkan, karena keterbatasan pengetahuan, banyak orang Papua yang masih menjauhi anggota masyarakat yang ODHA karena dianggap bisa menularkan virus. Selain itu, sejumlah orang menganggap HIV sebagai "genosida orang Papua".
"Ini membuat kadang-kadang minum obat ARV itu kurang [teratur], sehingga putus program dan banyak yang meninggal dunia," katanya.
Hingga Maret 2021, tercatat ada 427.201 orang dengan HIV/AIDS di Papua, atau 77?ri jumlah estimasi ODHA hidup sebanyak 543.100 orang.
Dari jumlah itu, sebanyak 365.289 ODHA masih hidup, sementara 61.192 ODHA meninggal dunia, merujuk data Kementerian Kesehatan.
Dari total ODHA yang ada di Indonesia, sebanyak 68.508 orang putus obat atau lost to follow up.
Perempuan mendominasi kasus HIV
Studi yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2016 menunjukkan bahwa di Papua rasio perempuan dan laki-laki terpapar HIV positif adalah 3:1.
Ini berarti sekitar 60% kasus yang dilaporkan di Papua adalah perempuan, sedangkan jumlah perempuan yang terpapar HIV positif secara nasional hanya 37%.