Konflik Bersenjata Papua: Kisah Pilu Bocah Tewas Tanpa Tahu Alasannya
- bbc
Pemerintah dan DPR membuat aturan khusus berupa UU 3/2019 tentang kerja sama bidang pertahanan antara Indonesia dan Serbia. Salah satu poin dalam beleid itu adalah kerja sama pengadaan alat pertahanan.
Anggota Komisi I DPR dari Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas, dalam akun Instagram miliknya, memamerkan salah satu persenjataan TNI yang dibeli dari Serbia.
https://www.instagram.com/p/CVctqytBiK8/
Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia mencapai 84,9 juta euro atau sekitar Rp1,4 triliun pada tahun tersebut. Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia lebih besar daripada ke Amerika Serikat, berselisih sekitar Rp400 miliar.
Pada 2020, total impor persenjataan seperti mortar, howitzer, dan senjata api dari Serbia ke Indonesia mencapai US$1,8 juta atau sekitar Rp25,7 miliar, menurut laporan Badan Pusat Statistik.
Mantan jenderal bintang tiga TNI Angkatan Darat yang kini menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo, ragu militer melakukan serangan udara untuk menghadapi kelompok pro-kemerdekaan di Kiwirok dan wilayah lain di Papua.
"Itu bukan cara untuk menghadapi pemberontakan, tapi cara-cara dalam perang konvensional," kata Agus.
"Operasi di Timor Timur dulu masuk kategori insurgency plus sehingga militer menggunakan bantuan tembakan taktis dari udara, walau tidak secara besar-besaran," tuturnya.
Dari perspektif militer, menurut Agus, serangan udara untuk menghadapi TPNPB tidak efisien. Ia merujuk pesebaran milisi pro-kemerdekaan yang tidak terpusat dan jumlahnya yang tidak masif.
Bagaimanapun, Agus menyebut mortir adalah persenjataan militer. Penggunaannya, kata dia, harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas.
"Sepatutnya ada akuntabilitas. Sebetulnya transparansi ini bisa terwujud dengan dorongan elemen lain. DPR, misalnya, bisa bertanya apa payung hukum operasi di Papua," kata Agus.
"Kalau dorongan itu tidak kuat, TNI dan aparat keamanan bisa merasa tidak diingatkan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang benar dan yang belum benar.
"Indonesia punya pengalaman menetapkan status darurat militer di Aceh dan Timor Timur serta mengatasi berbagai pemberontakan.
"Generasi masa lalu lebih sadar soal supremasi hukum dan perbedaan kewenangan dalam tingkat kondisi darurat daripada kondisi kontemporer yang seolah-olah bebas menggunakan metode apapun," ujar Agus.
Yan Permenas, anggota DPR dari Papua, mengaku akan berupaya meminta aparat bertanggung jawab atas operasi melawan milisi pro-kemerdekaan, terutama yang memunculkan korban dari warga sipil.
Sejak masuk DPR pada 2019, Yan duduk di Komisi I DPR, institusi yang mengawasi bidang kerja TNI.
"Ini sudah kami lakukan. Tidak semua pekerjaan Komisi I kami publikasikan karena ini sesuatu yang harus dikonsumsi secara terbatas," kata Yan.
"Tapi kami berkomitmen mengawal kasus hukum dan perbaikan kebijakan sehingga bisa memberi hasil signifikan dalam penyelesaian konflik di tanah Papua," ujarnya.
Menurut pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Sigit Riyanto, pertempuran antara TNI/Polri dan TPNPB di Papua terikat pada hukum humaniter internasional. Bukan hanya soal cara berperang tapi juga sarana yang digunakan oleh dua pihak itu, kata Sigit.
"Kalau hukum humaniter tidak dikenakan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana nasional," ucapnya.
"Tapi di seluruh negara, termasuk di Indonesia, masalahnya bukan apa yang boleh dan tidak diizinkan, tapi persoalan mendasarnya adalah menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran.
"Ini soal politik yang relatif rumit. Dari waktu ke waktu sulit menegakkan hukum humaniter. Faktor utamanya adalah kemauan politik," ujar Sigit.
Dalam wawancara khusus dengan BBC News, Presiden Joko Widodo menyebut pemerintahannya tak ingin terlibat dalam konflik bersenjata dengan siapapun. Dia mengklaim telah mengupayakan penyelesaian dialogis untuk beragam persoalan Papua.
"Saya sudah mengajak mereka untuk berbicara bagaimana membangun Papua bersama, mensejahterakan masyarakat dan mengejar ketertinggalan agar bisa sejajar dengan yang lainnya," kata Jokowi.
"Saya ingin Indonesia damai, Papua damai. Saya tidak ingin berkonflik dengan siapapun. Semua yang berada di teritorial Indonesia adalah rakyat Indonesia. NKRI harus dibangun bersama," ujarnya.
Namun pertikaian bersenjata antara aparat dan kelompok pro-kemerdekaan masih terus berlangsung di Papua, termasuk Kiwirok dan Intan Jaya.
Jumlah masyarakat sipil yang tewas dan tertembak masih terus bertambah. Salah satunya Bernadus Bagau, laki-laki Intan Jaya berumur 45 tahun yang ditemukan meninggal pertengahan November lalu. Saat itu dia sudah tiga pekan menghilang.
Di tubuh Bernadus terdapat luka tembak, kata Pastor Yance Yogi, imam Katolik yang memakamkan jenazah Bernadus. "Dia masyarakat biasa," kata Pastor Yance.
Dan di Distrik Kiwirok, tidak sedikit anak-anak, perempuan-laki laki dewasa hingga orang lanjut usia hingga yang saat ini masih mengungsi hutan di perbukitan. Jumlah mereka tidak dapat diverifikasi, bisa ratusan atau ribuan.
"Kami tidak ada tenda, kami pakai daun, kayu dan apapun yang bisa kami pakai untuk bangun tempat tinggal sementara," kata Kalaka Benny.
---
Yamoye Abeth, wartawan di Timika, berkontribusi untuk laporan ini.
Tulisan ini merupakan bagian dari Liputan Khusus: Tantangan Papua dengan Status Istimewa di situs BBC News Indonesia.