Konflik Bersenjata Papua: Kisah Pilu Bocah Tewas Tanpa Tahu Alasannya
- bbc
Salah satu pimpinan TPNPB di Pegunungan Bintang, Jenno Taplo, berkata bahwa pihaknya adalah yang membakar alat berat milik PT WIKA serta puskesmas, sekolah, pasar, dan fasilitas lain di Kiwirok.
Kepada Jenno, kami menunjukkan sebuah foto yang terlampir dalam laporan Spey kepada Komnas HAM. Foto itu menunjukkan sekelompok orang yang baru saja merusak dan membakar fasilitas umum dalam huru-hara tersebut.
"Apakah orang-orang ini adalah pasukan Anda?" begitu pertanyaan kami kepadanya. "Ya, mereka TPNPB," kata Jenno.
Kami juga bertanya kepada Kepala Distrik Kiwirok, Abedeus Tepmul, soal kesaksiannya. Dalam laporan Bupati Spey kepada Komnas HAM, Abedeus mengaku mengenali sejumlah orang yang tampak dalam foto dan video aksi pembakaran.
"Saya yakin bahwa konflik di Kiwirok bukan saja gerakan Papua Merdeka, tapi ada kelompok lain yang sakit hati karena kalah politik," begitu pernyataannya dalam berkas laporan itu.
Namun saat dihubungi, Abedeus menyatakan tidak bisa bicara banyak soal kejadian di Kiwirok. "Saat itu saya berada di Jayapura dan hingga kini belum bisa terbang ke sana," ujarnya.
Laporan Bupati Spey kepada Komnas HAM memunculkan teka-teki baru soal dalang dan motif di balik kisruh di Kiwirok.
Sehari setelah pembakaran di Kiwirok, kejadian serupa juga terjadi di Distrik Okhika—salah satu wilayah setingkat kecamatan lainnya di Pegunungan Bintang.
Dari video yang beredar di media sosial, kejadian di Okhika dilakukan sekumpulan laki-laki. Mereka terlihat merusak kaca-kaca bangunan dengan batu. Sebagian mereka membawa balok-balok kayu.
Sebby Sambom menyebut orang-orang yang berafiliasi dengan TPNPB merupakan pelaku aksi tersebut.
Baca juga:
- `Pendekatan baru` di Papua, antara harapan penurunan kekerasan dan tudingan janji `hampa`
- Masa Pra-Paskah yang `suram` bagi para pengungsi Intan Jaya
Komisioner Komnas HAM, Muhammad Choirul Anam, terbang ke Oksibil awal November lalu. Namun dia belum bisa membuat kesimpulan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kami mendapatkan banyak sekali informasi, termasuk dari bupati," ujar Anam.
Anam berkata, lembaganya masih akan menyelidiki huru-hara di Kiwirok. Walau demikian, kata dia, hingga saat ini Komnas HAM belum bisa datang ke Kiwirok karena terhambat izin dan keamanan yang tak stabil.
Jauh sebelum huru-hara di Kiwirok, September lalu, situasi politik yang panas selama setahun terakhir sudah merundung Pegunungan Bintang.
Polemiknya berkaitan pilkada tahun 2020. Saling lempar tudingan dilakukan kubu Spey Bidana dan kubu Costan Oktemka. Constan merupakan bupati Pegunungan Bintang periode lalu.
Selain antara dua kubu itu, saat itu polemik juga pecah antara pimpinan KPUD dan Bawaslu setempat yang mempertentangkan legalitas status calon bupati.
Ribut pilkada di kabupaten itu dibawa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan kubu Costan Oktemka yang mendalilkan bahwa terjadi kecurangan selama proses pilkada pada akhirnya ditolak para hakim konstitusi.
Dalam laporan Spey kepada Komnas HAM, tidak ada pernyataan tegas tentang siapa yang menyebabkan kematian perawat Gabriela Meilan.
Berkas itu mengutip keterangan perawat bernama Patra. Saat huru-hara tanggal 13 September terjadi, dia berada di rumah khusus perawat yang berada dalam satu kompleks dengan puskesmas.
Patra berkata, para perawat sudah mendengar isu rencana penyerangan milisi pro-kemerdekaan sejak tiga hari sebelumnya. Namun Patra yakin dia dan rekan-rekannya tidak akan menjadi sasaran.
Patra berkata, kontak tembak terjadi di sekitar bandara sekitar pukul sembilan pagi. Tak lama berselang, sekelompok orang yang membawa parang, panah, dan senjata sudah berada di rumah mereka.
"Mereka banyak sekali di belakang rumah," kata Patra dalam berkas itu. Dia mengaku melihat rumah dokter dan puskesmas dibakar.
Patra akhirnya memilih kabur dan terjun ke jurang. Di sana Patra tidak melihat sejawatnya yang juga lompat ke jurang.
"Saya dengar teman yang lain berteriak ketika disiksa," begitu keterangan Patra dalam berkas itu. Sempat bermalam di dalam jurang, keesokan subuhnya Patra naik ke bukit dan sampai ke pos TNI.
Saat huru-hara terjadi, Patra terjun ke jurang bersama lima petugas medis lainnya. Mereka adalah Marselinus Ola Atanila, Selo, Emanuel Abi, Kristina Sampe Tonapa, Katrianti Tandila, dan Gabriela Meilan.
Marselinus menuturkan kronologi peristiwa itu kepada pers setelah dievakuasi ke Jayapura, empat hari pasca-kejadian.
Menurut Marselinus, kelompok penyerang turun ke jurang untuk mengejar mereka. Namun, kata dia, orang-orang itu hanya menemukan Kristina, Katrianti, dan Gabriela.
Katrianti dan Kristina pada akhirnya selamat dan turut dievakuasi aparat. Namun Gabriela meninggal. Menurut Marselinus, Gabriela tewas diserang para penyerang.
Lima petugas medis lain selamat dari aksi pembakaran dan pengejaran. Kelimanya adalah Restu Pamanggi, Lukas Luji, Siti Khotijah, Marthinus Deni, Gerard Sokoy.
Berkas laporan Bupati Spey Bidana kepada Komnas HAM memuat foto Katrianti dan Kristina. Mereka tampak tidak berbusana.
Laporan itu juga melampirkan foto Gabriela Meilan dalam kondisi yang tidak berpakaian.