Konflik Bersenjata Papua: Kisah Pilu Bocah Tewas Tanpa Tahu Alasannya
- bbc
Sejak pertempuran antara aparat dan TPNPB menewaskan Melpianus, Sugapa senyap. Rumah-rumah kosong. Masyarakat mengungsi ke gereja, Koramil dan juga kantor polisi. Banyak kios tutup.
Bertinus bertahan di gereja usai pemakaman itu. "Sampai saat ini tidak ada pihak yang datang untuk bertanya atau meminta maaf," kata Bertinus.
Perbincangan kami dengan Bertinus, awal November lalu, sempat berhenti sejenak. Dari dalam gereja terdengar suara tembakan bertubi-tubi. Semua orang di dalam gereja diingatkan untuk waspada.
Situasi di Sugapa beberapa pekan sebelumnya tidak seperti ini. Awal Oktober lalu ribuan umat katolik dari berbagai kampung berbondong-bondong berjalan kaki ke ibu kota kabupaten itu. Perayaan besar digelar menyambut penahbisan tiga imam baru di Gereja Santo Michael.
Yeskiel dan Fransiskus adalah dua dari tiga pastor yang ditahbiskan pada 12 Oktober. Pada hari-hari itu, Sugapa penuh sesak. Ribuan orang mengikuti pawai.
Sebagian dari mereka mengenakan koteka dan rok rumbai. Suasana riuh rendah. Anak-anak dan orang dewasa berbaur. Mereka menyanyikan beragam lagu. Prosesi bakar batu dirayakan.
Yeskiel tidak mengira situasi gegap gempita itu bakal segera sirna. Di tengah kondisi mencekam, awal November lalu Yeskiel tetap harus melakukan perjalanan ke Distrik Homeo, Kabupaten Paniai. Keuskupan Timika menugaskannya menjadi imam di sana.
"Saya dan rombongan ke Paniai naik mobil. Kami bisa jalan setelah izin dari Bupati disampaikan ke Kapolres dan Danramil. Di pos tentara, tas kami diperiksa. Setelah dianggap aman, baru kami diizinkan lewat," kata Yeskiel.
"Saat kami lewat, saya lihat tentara membawa tiga pemuda. Saya lihat ada busur dan anak panah. Saya tidak tahu pemuda itu ditangkap atau pengungsi.
"Sepanjang perjalanan sepi sekali. Kami sempat cari solar tapi semua kios tutup. Saya harus ketuk pintu kios, katakan bahwa saya pastor, baru mereka membuka pintu," ujarnya.
Saat Yeskiel meninggalkan Sugapa, warga lokal bernama Mina tetap bertahan di pengungsian yang dikoordinasikan pihak gereja.
Mina adalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan warga Sugapa yang mengungsi sejak kontak tembak akhir Oktober lalu.
Setiap pihak di Intan Jaya menyebut angka yang berbeda terkait pengungsi. Rentangnya dari ratusan hingga ribuan orang. BBC News Indonesia tidak bisa memverifikasi secara langsung kebenaran beragam angka itu.
"Kami hidup dalam ketakutan. Kami juga trauma karena kontak tembak ini terjadi di dekat rumah kami," ujar Mina.
Ini bukanlah pengalaman pertama Mina dan keluarga tidur di tenda pengungsian. Awal Februari lalu, mereka juga meninggalkan rumah atas alasannya yang sama.
Walau sebagian warga menanggap gereja adalah tempat mengungsi yang paling aman dan nyaman, tenda-tenda yang didirikan di lokasi itu tidak layak huni, apalagi untuk menampung begitu banyak orang.
Pengungsian itu beratap terpal dan beralaskan alang-alang. Tempat ini diutamakan untuk anak dan perempuan. Namun mereka kerap harus saling bergantian mengisi ruang.
Di pengungsian, kelangsungan hidup Mina dan keluarganya juga bergantung pada bantuan. Jika tak ada sumbangan makanan, mereka harus menahan rasa lapar.
"Kami tidak bisa ambil bahan makanan ke kebun karena kebun letaknya di antara gunung. Setiap gunung dikuasai aparat dan TPNPB," kata Mina.
Pengungsi lainnya, seorang laki-laki paruh baya bernama Mepa, menyebut aksi saling serang antara aparat dan TPNPB tidak pernah separah ini.
Tidak hanya berlangsung selama belasan hari, lokasi pertempuran juga sudah bergeser dari hutan ke sekitar permukiman warga.
Begitu aksi saling serang terjadi pada 26 September lalu, aktivitas Sugapa berhenti, termasuk penerbangan yang merupakan penghubung Sugapa dengan kota-kota besar lain di Papua.
"Yang kami rasakan adalah penderitaan di atas penderitaan. Anak kecil trauma karena kontak tembak bahkan terjadi di sekitar halaman gereja," ujarnya.
Saat liputan ini disusun, warga sipil kembali menjadi korban kontak tembak antara aparat dan TPNPB di Sugapa. Pada 9 November, perempuan bernama Agustina tertembak di bagian pinggang. Pelipis mata kanannya juga terluka.
Polisi membuat klaim bahwa peluru itu tanpa sengaja mengarah ke perempuan berusia sekitar 20-an tahun tersebut. Agustina dituduh berada di lokasi kontak tembak antara aparat dan TPNPB.
Namun sejumlah pihak di Intan Jaya menyebut hal yang berlawanan, bahwa tak ada peristiwa saling tembak saat peluru masuk ke tubuh Agustina.
Setelah tertembak, sejumlah warga lokal bersama pengurus gereja menyelamatkan Agustina. Tubuhnya dibopong di atas tandu kayu sederhana dari pinggir Kali Dogabu, melewati perbukitan, menuju puskesmas.
Keesokan harinya Agustina diterbangkan ke Rumah Sakit Mimika oleh aparat dan pemerintah lokal.
Pada hari yang sama, pemerintah lokal dan pimpinan kepolisian serta militer mengabarkan kepada pihak gereja bahwa masyarakat bisa kembali ke rumah. Namun tidak semua warga langsung meninggalkan pengungsian.
Meski begitu, Kepala Polres Intan Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Sultan meminta BBC News Indonesia tidak menggunakan istilah `mengungsi` untuk mendeskripsikan rentetan peristiwa ini.
Sandi juga mengatakan hal yang sama saat warga sipil berbondong-bondong menuju gereja saat eskalasi kontak tembak di Intan Jaya meningkat, Februari lalu.
"Mereka tidak mengungsi, tapi menyelamatkan diri," ujar Sandi.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata `mengungsi` bermakna menyelamatkan diri ke tempat yang dirasa aman.