Puncak Toleransi Warga Tengger, Berbeda Agama tapi Satu Adat
- VIVA.co.id/Lucky Aditya
VIVA – Suhermawan (29) sedang merawat bunga edelweiss yang dia budidayakan bersama kelompok tani di Taman Edelweiss Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur. Bunga yang dijuluki bunga abadi ini cukup penting keberadaanya bagi adat warga Tengger.
Dalam sebuah kegiatan ritual seperti Yadnya Kasada, Karo, dan upacara lainnya bunga edelweiss menjadi kewajiban sebagai sesajen atau seserahan kepada Sang Pencipta.
"Om Swastyastu, Hong Ulun Basuki Langgeng," kata Suhermawan memberi salam, Rabu, 24 November 2021.
Kalimat yang diucapkan Suhermawan berartikan salam sejahtera dari umat Hindu Gunung Tengger Bromo. Kalimat salam ini hanya dapat didengar ketika kita berinteraksi dengan umat hindu atau warga Tengger lainnya di kawasan Gunung Bromo dan Gunung Semeru. 99 persen warga di desa ini pemeluk agama Hindu.
Suhermawan asli suku Tengger, dia tinggal di Jalan Pusung Cemara Jangkar, Tosari, Kabupaten Pasuruan. Dia besar di lingkungan Hindu sejak kecil.
Keluarga besarnya semua penganut agama Hindu. Mayoritas di desa ini memang beragama hindu, tetapi toleransi dan kerukunan antarumat beragama berjalan damai. Suasana tenang dan menyejukkan seperti suasana alam di pegunungan Tengger.
Suhermawan menceritakan, meski berbeda agama mereka tetap satu adat. Selama ini warga Tengger dikenal sebagai suku yang memegang teguh adat dan istiadat para leluluhur.
Toleransi tertanam kuat, abadi seperti filosofi bunga edelweiss. Saat ada upacara ritual adat masing-masing tokoh lintas agama membacakan doa mulai dari Hindu, Islam, dan Kristen.
"Yang menyatukan kita di sini adalah adat, seperti adat Karo, Yadnya Kasada itu yang menyatukan kita. Dan harus dibedakan antara agama dan adat. Agama itu masing-masing, tetapi adat harus dilakukan bersama-sama. Hindu, Islam maupun kristen semua jadi satu," ujar Suhermawan.
Suhermawan mengisahkan hubungan harmonis antara Hindu dan Islam yang terbangun sejak lama. Seperti saat perayaan Maulid Nabi Muhammad tiba, umat Hindu memperbolehkan umat Muslim menggunakan balai desa untuk kegiatan pengajian.
Sebaliknya, saat hari raya Nyepi tiba umat muslim yang ada tidak keberatan untuk mematikan lampu demi menghormati perbedaan yang ada.
"Desa Wonokitiri 99 persen Hindu, tetapi di Wonokitri saling menghargai walaupun Islam sedikit. Contoh Maulid Nabi diadakan di Balai Desa tidak apa-apa. Sama, begitu saat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi lampu mati. Itu semua dimatikan, toleransinya seperti itu," tutur Suhermawan.
Dalam agama Islam, budaya Lebaran saling mengunjungi saudara, kerabat dan tetangga mungkin menjadi hal yang lumrah diketahui saat Idul Fitri. Dalam adat Tengger juga memiliki budaya serupa. Terutama saat Hari Raya Karo atau Yadnya Karo. Ini hari raya kedua setelah Yadnya Kasada dari 12 bulan menurut kalender suku Tengger
Usai peringatan hari raya Karo, mereka memiliki budaya anjangsana. Umat hindu di Tengger mendatangi satu persatu warga tanpa melihat latar belakang agama. Mereka saling berkunjung dan memberikan jamuan kepada warga yang berkunjung.
"Saat Karo itu ada istilahnya Anjangsana, Agustus kemarin. Itu perhitungannya pakai kalender Tengger. Lebih seperti lebaran, saling berkunjung," kata Suhermawan.
Sebelum pandemi COVID-19 berbagai kegiatan keagamaan Hindu digelar secara kolosal, seperti saat Hari Raya Nyepi, warga hindu biasanya menggelar festival Ogoh-ogoh besar-besaran. Bahkan biasanya sampai membuat jalanan macet. Karena antusias dari warga Tengger yang cukup besar.
Di saat umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi dengan festival Ogoh-ogoh, umat muslim Tengger bertugas mengamankan dan mengatur lalu lintas.
Umat muslim Tengger mengatur jalan agar kawasan itu tetap lancar dan tidak macet. Hubungan yang hangat antarumat beragama di Tengger berjalan cukup lama dan langgeng.
"Ikut melaksanakan ketertiban lalu lintas orang hindu sembahyang orang muslim menjaga jalan. Dulu sebelum pandemi ada upacara agama yang memakai ogoh-ogoh. Yang muslim tidak ikut sembahyang tetapi ikut mensterilkan jalan. Lalu kalau Hindu sembahyang orang muslim mensterilkan jalan, mengatur lalu lintas," ujar Suhermawan.
Taman Edelweiss yang menjadi destinasi wisata dan budidaya edelweiss juga menjadi saksi toleransi di Tengger berjalan dengan baik. Suhermawan adalah sekretaris dari Kelompok Tani Hulun Hyang yang mengelola Taman Edelweiss.
Sedangkan ketuanya seorang muslim, yakni Teguh Wibowo. Mereka berdua sama-sama warga Suku Tengger. Satu Hindu dan satu Islam. Agama tidak menjadi pembeda karena mereka disatukan oleh adat.
"Selama orang Tengger ada kewajiban untuk mengikuti budaya itu, Yadnya Kasada, Karo maupun budaya lainnya. Juga mengirim sesajen, memberikan seserahan berupa hasil bumi. Saya muslim, saya asli Tengger," ujar Teguh.
Maju Bersama
Saat ini Kelompok Tani Hulun Hyang memiliki 30 anggota semuanya warga Tengger. Terdiri dari 18 laki-laki dan 12 perempuan. Selain membudidayakan tanaman edelweiss, mereka juga membuat suvenir dari bunga edelweiss dan membangun kafe.
"Bagaimana edelweiss dikembangkan agar masyarakat tidak lagi mengambil di gunung. Karena edelweis ini dilindungi, tetapi edelweiss juga sarana upacara adat. Dulu edelweiss mengambil di kawasan dari dua faktor ini muncul gagasan pengembangan edelweiss di masyarakat. Berawal dari 7 orang kini 30 orang," kata Teguh.
Bagi pengunjung Taman edelweiss bisa menikmati hamparan tanaman bunga abadi sembari menikmati hangatnya kopi maupun teh. Pengunjung yang masuk harus membeli voucher di loket dengan harga Rp10 ribu. Nantinya, voucher itu dapat ditukarkan kopi atau teh di kafe.
Selain mendapatkan minuman, uang Rp10 ribu yang dibayarkan oleh pengunjung juga berkontribusi pada pembudidayaan bunga edelweiss di Wonokitri.
"Kami punya 850 batang tanaman edelweiss. Kunjungan [selama] Oktober [2021] 3.392 wisatawan, tertinggi selama pandemi. Omzetnya sekitar Rp50 juta satu bulan, pemasukan dari voucher dan kafe, dan souvenir edelweiss" ujar Teguh.