Enam Rumah Ibadah Simbol Toleransi Warisan Asian Games di Palembang
- VIVA/Sadam Maulana
VIVA – Perhelatan Asian Games di Palembang, Sumatera Selatan, pada 2018, tak hanya mewariskan fasilitas infrastruktur berbagai venue olahraga bertaraf internasional. Selain venue, infrastruktur lain yang tak kalah membanggakan ialah berdirinya enam rumah ibadah berbeda agama berdampingan.
Enam rumah ibadah dibangun berdampingan dalam satu kawasan di kompleks terpadu olahraga Jakabaring Sport City Palembang. Dibangunnya enam rumah ibadah secara berdampingan itu sebagai simbol toleransi yang terjalin di Sumatera Selatan.
Ya, toleransi beragama memang menjadi identitas Provinsi Sumatera Selatan. Toleransi masyarakatnya menjadikan Bumi Sriwijaya dikenal sebagai daerah zero conflict, tidak pernah terjadi perseteruan, baik antarsuku, ras, dan antaragama.
Sederetan rumah ibadah, dari tempat ibadah gereja Katolik, pura untuk umat Hindu, masjid untuk umat Islam, vihara untuk umat Buddha, gereja Protestan, dan ada rumah ibadah Konghucu.
Enam rumah ibadah berdiri dengan arsitektur khas dari agama masing-masing. Pura, misalnya, dibuat persis seperti yang lazim ditemui di Bali. Bahkan, masyarakat yang mengunjungi tempat ibadah ini merasa seperti di Bali.
Keberadaan rumah-rumah ibadah ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Rumah ibadah ini juga menjadi destinasi wisata dan sering dikunjungi masyarakat dari berbagai agama.
Awalnya, keenam rumah ibadah ini sebagai fasilitas pendukung para atlet dan ofisial saat pergelaran Asian Games 2018. Penempatan rumah ibadah yang berderet sengaja dilakukan pemerintah agar menonjolkan julukan zero conflict di Sumatera Selatan.
Para pendatang, baik wisatawan lokal dan mancanegara, bisa mengetahui julukan itu dan menyampaikannya dari mulut ke mulut bahwa Sumatera Selatan terkenal akan toleransinya.
Zero conflict dan wisata religi
Kepala Subbagian Informasi dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan, Saefuddin, mengapresiasi apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi dengan membangun enam rumah ibadah berdampingan.
Meski awalnya hanya untuk melengkapi fasilitas Asian Games, keenam rumah ibadah menjadi warisan yang sangat berharga karena melambangkan kebinekaan, dan memiliki hubungan erat antarumat beragama di Sumatera Selatan. Hubungan itu bahkan sangat harmonis.
"Syukur, alhamdulillah, Sumatera Selatan tidak pernah terjadi konflik antaragama. Dengan adanya pendirian rumah ibadah yang dibangun berdekatan bisa memperkuat status itu," kata Saefuddin.
Menurutnya, pembangunan rumah ibadah ini dalam satu kompleks ini merupakan sebuah kebanggaan bagi warga Sumatera Selatan, sebagai simbol kerukunan, kedamaian, keharmonisan hidup beragama.Â
"Keberadaan enam rumah ibadah ini semakin menegaskan bahwa Sumatera Selatan sebagai Provinsi yang ber-'KTP' zero conflict," ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru pun turut mengapresiasi ide dari pemimpin sebelumya. Dia menilai bangunan rumah ibadah berdampingan ini sangat mencerminkan toleransi antarumat beragama. Keberadaan umar beragama sangat penting dalam menjaga kondusivitas daerah.
"Dengan adanya enam rumah ibadah berdampingan ini, juga bisa menjadi pelengkap landmark Jakabaring yang memiliki fasilitas olahraga lengkap dengan tempat ibadahnya," ujar Deru.Â
Keenam rumah ibadah juga menjadi destinasi wisata baru di Palembang, khususnya wisata religi. Juga upaya mendatangkan wisatawan lokal ataupun mancanegara bertandang ke ibu kota Sumatera Selatan.Â
"Ya, selain tempat ibadah, ini juga sebagai destinasi wisata religi. Kita punya Alquran Al Akbar yang ada di Gandus, yang pada setiap musim libur dipadati wisatawan dari luar daerah. Kita juga berharap keenam rumah ibadah ini juga menjadi pilihan baru bagi wisatawan," katanya.
Warisan masa lalu
Selain keenam rumah ibadah yang menjadi warisan dari Asian Games, di Sumatera Selatan juga terdapat beberapa bangunan rumah ibadah yang menjadi warisan masa lalu, hingga kini masih digunakan sebagai tempat ibadah.Â
Pertama, Masjid Agung Sultan Mahmmud Baddaruddin Joyo Wikromo Palembang. Masjid terbesar di Kota Palembang itu termasuk dalam daftar masjid tertua yang didirikan pada abad ke-19. Konsep bangunan Masjid memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa, dan China.Â
Bentuk bangunan Masjid dipengaruhi bangunan dasar Candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung. Masjid yang dahulunya berada di pusat kesultanan Palembang Darussalam, menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama besar.
Masjid itu juga menyimpan kenangan tak terlupakan sepanjang masa karena menjadi saksi bisu pertempuran rakyat Palembang melawan Belanda di pusat Kota.
Sampai saat ini, Masjid Agung SMB II masih menjadi pusat ibadah umat Muslim di Palembang. Bahkan pada hari-hari perayaan umat Muslim, Masjid ini selalu dibanjiri ribuan warga muslim yang ingin beribadah.Â
Kedua, Masjid Lawang Kidul, menjadi salah satu Masjid tertua di Palembang yang dibangun oleh Kiai Merogan, seorang ulama besar di Palembang pada masanya. Masjid ini berada di tepian sungai Musi, tepatnya di Kecamatan Ilir timur II atau persisnya bersebelahan dengan pelabuhan Boom Baru.
Didirikan tahun 1890, Masjid ini memiliki sejarah masa penjajahan. Bangunan rumah ibadah itu menjadi saksi serta peran penting pusat penyebaran Islam di Palembang. Hingga saat ini Masjid masih aktif dipakai sebagai tempat ibadah umat muslim di Kota Palembang.
Ketiga, Klenteng Dewi Kwan Im. Klenteng ini menjadi Klenteng tertua di Palembang, terletak di kawasan 9 Ulu, tidak jauh dari Jembatan Ampera.
Klenteng yang berdiri kokoh sejak tahun 1773 pada masa Kesultanan Palembang itu menggambarkan toleransi beragama pada masa itu sudah mulai ada dan hingga kini masih menjadi identitas masyarakatnya. Bahkan, Klenteng ini selalu ramai dikunjungi pada setiap perayaan Konghucu di Palembang.Â
Keempat, Gereja Santo Mikel Pumi. Gereja itu dikenal sebagai Gereja tertua di Sumatera Selatan, terletak di kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kabupaten Lahat. Paroki Santo Mikel Tanjung Sakti merupakan cikal bakal keuskupan Agung Palembang. Hingga kini Gereja Santo Mikael masih dipergunakan oleh umat Katolik di Kecamatan Tanjung Sakti.
Terakhir, Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya. Masjid itu tergolong baru dikatakan sebagai bangunan yang mengambarkan toleransi umat beragama di Bumi Sriwjaya.
Masjid Cheng Hoo berada di kawasan 15 Ulu Jakabaring, dikenal sebagai masjid dengan bangunan arsitektur ala Tionghoa atau lebih mirip dengan Kelenteng.Â
Jika orang tak mengetahuinya, mereka akan mengira masjid ini merupakan Kelenteng. Padahal Masjid Cheng Ho merupakan sebuah Masjid dengan pusat kegiatan agama Islam di kawasan itu.Â
Menurut budayawan Palembang Anwar Becak, Masjid Cheng Ho menggambarkan bagaimana terjalinnya hubungan baik antara masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat lokal. Keberadaan Masjid juga mencerminkan tokoh Islam asal Tiongkok pada masa lalu yang namanya kini menjadi nama masjid.