Sudut Sempit Gang Kauman, Saksi Bisu Toleransi di Kota Malang
- VIVA.co.id/ Lucky Aditya (Malang)
VIVA – Wanita paruh baya duduk di sebuah kursi kayu di depan warung biru menunggu para pembeli datang. Farini namanya. Perempuan 50 tahun itu adalah generasi ketiga dari keluarga warung penjual nasi di sudut gang sempit Jalan Merdeka Barat, Kauman, Klojen, Kota Malang.
Warung ini berdiri di tengah dua tempat ibadah tertua di Kota Malang. Sisi kanan adalah Gereja GPIB Immanuel dan sisi kiri adalah Masjid Agung Jami' Kota Malang. Gereja Immanuel dibangun 30 Juli 1861, sedangkan Masjid Agung Jami dibangun pada 1890. Perkampungan yang ada di belakang tempat ibadah ini bernama Kauman, akronim dari Kaum Beriman.
"Saya ini generasi ketiga, pertama kakek saya yang jualan namanya Abdul Amin sejak 1965. Dulu cuma jualan minuman sekarang jualan nasi," kata Farini, Kamis, 18 November 2021.
Toleransi adalah hal yang lumrah terjadi di sudut gang sempit ini. Sejak kecil dia melihat kerukunan umat beragama berjalan dengan baik selama puluhan tahun. Apalagi pelanggan dari warungnya adalah takmir, marbot, hingga jemaah Masjid Agung Jami' serta jemaat gereja atau pengurus gereja Immanuel.
"Mereka sering makan bareng terus ya saling ngobrol begitu. Ada dari pengurus gereja dan takmir masjid kalau ketemu ya ngobrol santai, rukun. Cuma sekarang itu jarang, karena pandemi (COVID-19) warung juga ikut sepi," ujar Farini.
Saling Pengertian
Pengawas Yayasan Masjid Agung Jami', Haji Abdul Aziz mengungkapkan bahwa modal dasar dari kerukunan beragama adalah saling pengertian. Junjungan umat muslim, Nabi Muhammad SAW telah menunjukan toleransi sejak lama. Sebagai pengikutnya, wajib meneruskan sikap-sikap mulia dari sang Rasul.
"Sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad kita umatnya hanya mengikuti. Salah satu contoh pada suatu ketika Rasulullah duduk sama sahabat. Tidak lama kemudian datang orang mengusung jenazah dan nabi berdiri memberi penghormatan. Sahabat tanya, kenapa nabi berdiri padahal dia orang yahudi, dijawab iya saya tahu dan dia manusia," tutur Abdul Aziz.
Contoh konkret toleransi di sekitar Kauman adalah saat umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Apabila hari lebaran itu tiba pada Minggu dan bertepatan dengan jadwal kebaktian di gereja, kedua belah pihak saling berkomunikasi meminta pengertian masing-masing.
Pihak masjid meminta gereja untuk memundurkan jadwal kebaktian. Sebab, sebagai masjid terbesar di Kota Malang jemaah yang hadir saat salat Idul Fitri maupun Idul Adha cukup banyak. Sebagian yang tidak tertampung di masjid bahkan salat di depan gereja. Meski begitu mereka tetap khusyuk. Jemaat gereja pun menghormati itu dan tidak merasa keberatan.
"Toleransi dengan gereja sebelah (Immanuel) sebetulnya pada dasarnya saling pengertian. Tetapi di Alquran sudah dijelaskan Lakum Dinukum Waliyadin beda agama tetapi kemanusiaan ini kan tetap berjalan dengan baik. Modal dasarnya adalah pengertian," kata Abdul Aziz.
Abdul Aziz menuturkan, tidak hanya saat salat Id. Saat ada gelaran pengajian, takmir masjid juga memberikan informasi sebelum pelaksanaan. Tujuannya agar tidak menganggu jemaat di gereja saat ibadah berlangsung bersamaan. Hal itu juga berlaku bagi takmir masjid. Jika gereja membutuhkan tempat untuk parkir jemaat, halaman depan masjid bisa digunakan untuk parkir.
"Kami juga perhatikan ada pengajian umum kita mengundang mereka untuk memberikan informasi. Sama dengan ibadah hari raya kita kasih informasi bahwa kita beribadah mohon untuk diundurkan jam ibadah. Begitu juga saat mereka ada kebaktian butuh tempat kita ya silakan menggunakan halaman depan masjid untuk parkir atau yang lain," ujar Abdul Aziz.
Kegiatan yang rutin dilakukan antara kedua pengurus dua tempat ibadah di Kota Malang ini adalah kerja bakti. Saat GPIB Immanuel merayakan hari ulang tahun berdirinya gereja, biasanya takmir masjid diajak untuk kerja bakti di sekitar kampung Kauman yang berada di daerah Alun-alun Merdeka, Kota Malang ini.
"Kegiatan bersama ada ulang tahun gereja minta bantuan karyawan (marbot) kami untuk ikut kerja bakti. Mereka kirim surat untuk mengecat jalan kami bantu tenaga dan mereka menyediakan bahan bangunan (cat, kuas dan lainnya)," tutur Abdul Aziz.
Toleransi itu juga dibenarkan oleh juru parkir di lokasi, Edi Risdianto, warga Wonokoyo, Kedungkandang. Selama 15 tahun menjadi juru parkir di tempat ini, Edi menyaksikan bahwa kedua umat, baik muslim maupun nasrani hidup berdampingan dan rukun. Mereka juga saling berbagi tempat parkir secara bergantian tanpa ada gesekan antar umat beragama.
"Sesama jemaah dapat tempat parkir yang sama karena kita sama-sama menjaga toleransi. Jadi lahan ini ya dibuat gantian jemaah muslim maupun jemaah gereja. Tidak pernah ada persoalan semua rukun," kata Edi.