Nilai Toleransi Kokohnya Vihara Tertua di Kota Bandung
- VIVA/Adi Suparman
VIVA – Bandung menjadi salah satu kota di Indonesia yang dicap sebagai kota toleransi. Berbagai suku, budaya dan keberagaman masyarakat Kota Bandung berbaur dalam menjalankan semua aktivitas dengan aman dan tenang seperti yang dibuktikan dengan keberadaan tempat ibadah agama Buddha, vihara, dan merupakan salah satu vihara tertua dan legendaris di Kota Bandung.
Vihara itu bernama Vihara Dharma Ramsi yang dibangun pada tahun 1954. Bangunan yang sudah hampir berumur 67 tahun itu masih ada dan hingga sekarang vihara itu digunakan untuk sembahyang umat Buddha.
Berlokasi di kawasan Cibadak, Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, vihara ini terletak di permukiman padat penduduk yang hadir cukup mencolok karena arsitekturnya yang unik khas Tionghoa.
Vihara itu tak hanya memperkerjakan orang Buddha, tetapi ada juga kalangan Muslim, salah satunya Ujang (47 tahun), yang bertugas sebagai pembuat lilin.
Ujang sudah bekerja di vihara itu sejak tahun 1987. Waktu itu dia masih remaja. Dia merasa tak terbebani dengan bekerja di vihari itu, malahan merasakan nilai-nilai Pancasila bisa diterapkan di sana.
Pengurus Vihara Dharma Ramsi ini mengakui bahwa para pekerja di sana dari berbagai keyakinan, dari Islam, Kristen, Buddha, dan Konghucu. Tradisi itu sudah diterapkan sejak awal berdirinya Vihara Dharma Ramsi.
Berdasarkan sejarahnya, vihara itu mempunyai cerita di balik penamaannya. Ketika masa Orde Baru, sempat ada pelarangan penggunaan nama klenteng, sehingga saat itu diubah namanya menjadi vihara.
Namun seiring waktu, selepas masa Orde Baru, tempat itu banyak yang tahu sebagai vihara, maka penamaannya sudah lekat dengan nama vihara. Asikin, pengurus di vihara itu, menjelaskan saat itu perubahaan nama tak berpengaruh besar, sebab hadirnya vihara memudahkan umat untuk beribadah hingga sekarang.
Lokasi vihara berada di permukiman padat penduduk dengan berbagai keyakinan masyarakatnya. Keberadaan Vihara Dharma Ramsi memiliki toleransi yang cukup tinggi dan dikenal semua masyarakat luas, terutama di Kota Bandung. Mayoritas warga di sana umat Islam. Selain itu ada beragam warga dengan kepercayaan lain, seperti Kristen, Konghucu, Buddha, Hindu.
Dengan beragam kepercayaan dan keyakinan itu, kawasan di sekitaran Vihara Dharma Ramsi menjadi harmoni indah. Menurut Asikin, dari dulu hingga sekarang tak ada gesekan atau konflik atas nama agama dan keyakinan.
"Dari dulu di kawasan sekitar vihara dan tempat ibadah lain, tak ada konflik antarwarga. Warga di sini saling menghargai," ujarnya, ketika ditemui pada Senin, 15 November 2021.
Asikin menjelaskan, toleransi masyarakat di sana terlihat saat ada perayaan Tahun Baru Imlek. Meski berbeda keyakinan, warga tetap menggelar pertunjukan seni khas masyarakat Tionghoa, misalnya barongsai (tarian singa) dan liang liong (tarian naga).
Hal itu, kata Asikin, menjadikan masyarakat di san hidup rukun dan damai tanpa ada paksaan dan konflik meski dengan berbagai macam keyakinan, suku, dan budaya. "Warga di sini saling mendukung tanpa memandang mereka apa agamanya atau suku mereka. Di sini warga berbaur," ujarnya.
Selain itu, menurut Asikin, saat umat Muslim berpuasa Ramadhan, pihak Vihara Dharma Ramsi selalu menyediakan makanan pembuka untuk berbuka puasa bagi warga Muslim. Warga di sana menempatkan diri sebagai makhluk sosial, sementara masalah keyakinan menjadi urusan masing-masing tanpa ikut campur agama lain.
Di Vihara Dharma Ramsi terdapat patung para dewa, bahkan menjadi salah satu vihara dengan banyak patung. "Kalau dikumpulkan hampir 1.000 patung para dewa," katanya.
Patung para dewa ditempatkan di setiap sudut altar. Penempatan patung sudah disesuaikan untuk memudahkan jemaat yang ingin berdoa. Kapasitas vihara bisa mencapai 200 orang. Para jemaat pun berdatangan tak dalam satu waktu, biasanya mereka datang bergantian.
Asikin menambahkan, bahkan para pekerja di sana yang biasa membuatkan lilin untuk perayaan Imlek mereka dari umat muslim. Meskipun mereka berbeda agama, di viraha itu mereka hidup saling menghargai. Tanpa memandang berbeda keyakinan, mereka bekerja sepenuh hati. "Ada yang sudah puluhan tahun, mereka bekerja di sini. Dari muslim yang bekerja di pembuatan lilin," katanya.
Kota Bandung telah dikenal sebagai kota yang menjunjungi tinggi toleransi. Warganya sangat menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Berikut ini sejumlah tempat ibadah tertua di Kota Bandung yang disarikan dari sejumlah sumber:
Masjid Mungsolkanas
Sebagian besar orang mungkin akan menyangka bahwa Masjid Raya Bandung, yang letaknya bersebelahan dengan Alun-alun Bandung atau Masjid Cipaganti, merupakan masjid tertua di Kota Bandung. Namun masjid tertua di Kota Bandung ialah Masjid Mungsolkanas, dibangun pada tahun 1869. Nama unik itu merupakan pemberian Mama Aden atau R. Suradimadja alias Abdurohim.
Mungsolkanas merupakan akronim dari “Mangga Urang Solawat ka Nabi SAW" (mari kita selawat kepada Nabi Muhammad)”. Sebutan itu diambil dari filosofi doa di dalam kitab Tankibulkaul yang mengandung arti bahwa setiap orang yang membaca dan mengamalkan selawat Nabi SAW insyaallah doanya terkabul.
Katedral Santo Petrus
Gereja Katedral Santo Petrus dibangun pada tahun 1895. Desainnya dirancang oleh arsitek bernama C.P. Wolff Schoemaker. Hingga kini Gereja Katedral Santo Petrus masih berdiri gagah di Jalan Merdeka No.14, Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung.
Pada awal mula berdirinya gereja ini sempat diberi nama St. Franciscus Regis. Waktu itu gereja tersebut hanya memiliki 280 jemaat. Baru setelah Bandung mendapat status sebagai kotamadya, gereja itu dibangun kembali dan diberi nama Gereja Katedral Santo Petrus dan dapat menampung 1.800 orang jemaat. Mengusung gaya arsitektur neo-gothic akhir, gereja ini bak bangunan kuno di tengah Kota Bandung.