Kejagung Tetapkan 7 Tersangka Dugaan Korupsi Rp4,7 T di LPEI
- ANTARA
VIVA - Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019. Para tersangka itu awalnya adalah saksi tapi tidak kooperatif saat akan diperiksa penyidik.
“Dari ke-10 orang saksi yang diperiksa, saksi nomor 4 sampai dengan nomor 10, ditetapkan sebagai tersangka terkait dengan tindak pidana menghalang-halangi penyidikan atau tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, melalui keterangan persnya, Rabu, 3 November 2021.
Leonard menuturkan ketujuh orang tersangka tersebut adalah IS selaku mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI tahun 2016-2018, NH selaku mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis (ARD) II LPEI tahun 2017-2018, EM selaku mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar (LPEI) tahun 2019-2020.
Kemudian CRGS selaku mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis Tahun 2015-2020 pada LPEI Kanwil Surakarta, AA selaku Deputi Bisnis pada LPEI Kanwil Surakarta tahun 2016-2018, ML selaku mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, RAR selaku Pegawai Manager Resiko PT BUS Indonesia.
Baca juga: Usut Kasus Korupsi Rp4,7 T di LPEI, Kejagung Periksa Seorang Saksi
Sedangkan tiga orang yang diperiksa dan statusnya masih saksi antara lain AL selaku Direktur PT Lautan Harmoni Sejahtera, ARS selaku Pengurus CV Sumber Rezeki, STA selaku Direktur Utama PT Mitra Adyaniaga. Mereka diperiksa terkait penerimaan fasilitas kredit di LPEI.
Leonard menambahkan pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.
“Pemeriksaan saksi dilaksanakan dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan antara lain dengan menerapkan 3M,” tuturnya.
Duduk Perkara Kasus LPEI
LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur dan pembiayaan kepada para Debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility macet, sejak tanggal 31 Desember 2019.
"LPEI di dalam penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional kepada para debitur (perusahaan penerima pembiayaan), diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/ non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen," kata Leonard.
Dia menyampaikan berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 trilyun. Jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Selanjutnya, berdasarkan statement pada laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan diantaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas.
"Lalu, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia di mana selaku Direktur Utama dari 3 perusahaan tersebut adalah saudara S," katanya.
Namun, Leonard menyampaikan jika LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010. Akibat hal tersebut menyebabkan debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683.600.000.000 (terdiri dari nilai pokok Rp576.000.000.000, denda dan bunga Rp107.600.000.000).