Habib Syakur Bilang Intoleran Jadi Momok Besar Keutuhan NKRI
- Andri Prasetiyo
VIVA – Aksi intoleran dan radikal dinilai sebagai momok besar dalam keutuhan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap seperti itu dianggap salah memahami ajaran agama sehingga memunculkan keegoisan.
Demikian disampaikan Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur bin Ali Mahdi Al Hamid. Ia menyebut paham tersebut merupakan momok besar bagi kondusifitas bangsa Indonesia. Setiap agama diyakini tak akan mengajarkan paham intoleran serta radikal.
"Paham radikal, intoleran dan ekstremis adalah paham monster. Mereka sebenarnya salah memahami agama, dan sangat egois. Jelas-jelas mereka adalah orang-orang yang merendahkan harkat martabatnya sendiri sebagai manusia," kata Habib Syakur, Selasa, 19 Oktober 2021.
Menurut dia, sebagian dari orang-orang dengan pemahaman dan perilaku semacam itu memilih berseberangan dengan negara. Pun, sebagian mereka tak ingin hidup berbarengan dengan orang-orang yang memiliki perbedaan baik dari sisi agama maupun syariat.
Kondisi itu memunculkan persepsi pemahaman mereka yang lebih benar. Sementara, bagi yang berbeda dengan mereka dianggap salah sehingga perlu diperangi.
"Dalam satu masa, paham ini muncul dan terkesan untuk memusuhi. Untuk hindari makna persatuan, menghilangkan makna berbangsa dan bernegara di negeri kita tercinta," ujarnya.
Kemudian, ia menyinggung pola pikir kelompok intoleran dan radikal yang persepsikan tak sepaham dengannya adalah salah. Dia menekankan pada dasarnya, setiap manusia kodaratnya adalah suci, memiliki tujuan yang sama dalam menuju Tuhannya.
"Harus kita akui, kita terlahir dari keadaan suci, hanya beda saja jalan menuju Tuhan. Semua memaknai keberadaan Tuhan. Tuhan bukan hantu tapi zat yang memberikan rahmat, kasih, penyayang bagi kita," jelasnya.
Pun, ia menyebut bangsa Indonesia sejatinya suci karena terlahir dalam keadaan sebagai negara dengan memiliki kompleksitas keberagaman. Bagi dia, kondisi tersebut adalah fitrah dan takdir yang harus tetap dijalani dengan baik.
"Di Indonesia terlahir sebagai insan suci yang sejati. Satu sama lain harus saling menghormati dan menghargai, tidak harus saling membedakan tentang perkara syariat dan agama," ujarnya.
Menurut dia, tidak perlu mengkafirkan karena hanya tidak satu akidah dan seagama. Ia tak menampik masih sering terjadi perdebatan sengit di kalangan masyarakat terkait sebutan kafir kepada orang lain yang tidak satu agama bahkan satu akidah dengannya.
Dia bilang, di dalam Islam, istilah kafir adalah keniscayaan. Namun, bukan dijadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan orang lain yang berbeda.
"Makna kafir itu harus kita lihat dari kitab suci Alquran. Tapi, penafsiran dari kitab suci Alquran memang tidak bisa kita ganggu gugat, itu kalimat yang sakral," tuturnya.