Negeri yang (Tak) Ramah Anak
- VIVA.co.id/istimewa
VIVA – Pria yang dituduh mencabuli tiga anaknya di Kabupaten Luwu Timur, Sabtu pekan lalu, didampingi dua orang pengacara, mendatangi Markas Polda Sulawesi Selatan di Makassar. Bukan untuk memenuhi panggilan pemeriksaan oleh polisi, melainkan melaporkan mantan istrinya yang juga ibu dari ketiga anak mereka dan satu laman berita investigasi, Projectmultatuli.org.
Lelaki berinisial SF yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara di Pemerintah Kabupaten Luwu Timur itu melaporkan bekas istrinya, RS, dan laman Projectmultatuli.org atas tuduhan pencemaran nama baik terhadapnya. Yang dia persoalkan cuma kata “pemerkosaan” yang digunakan dalam artikel Projectmultatuli.org, berdasarkan keterangan RS dan sejumlah sumber, lantas menjadi viral di media sosial.
Padahal, menurut si pengacara, tindak pidana yang diselisik ulang oleh polisi itu, setelah penyelidikannya sempat dihentikan pada 2019, merupakan “pencabulan”, bukan “pemerkosaan”.
Gara-gara terlalu ‘gercep’
Kasus dugaan pencabulan atau pemerkosaan terhadap tiga anak yang semuanya berusia di bawah sepuluh tahun itu semula hanya menjadi perhatian segelintir kalangan di Luwu Timur, kota yang berjarak 550 kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar, pada 2019.
Menjadi perhatian nasional setelah si ibu para korban, RS, bersama LBH Makassar menggelar konferensi pers di Makasssar, pada 7 Oktober 2021. Mereka meminta kasus itu diselidiki ulang dan menuntut Markas Besar Polri untuk mengambil alih penyelidikan yang sepanjang dua tahun sebelumnya ditangani oleh Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan. LBH menengarai banyak yang tak beres dalam proses pengusutan kasus kekerasan seksual terhadap anak itu, baik di tingkat Polres Luwu Timur maupun Polda Sulawesi Selatan, dan karenanya sudah selayaknya ditangani Markas Besar Polri.
Kasus itu kali pertama dilaporkan kepada aparat pada pekan kedua Oktober 2019. Namun Polres Luwu Timur menghentikan proses penyelidikan pada 10 Desember, tanpa menyebutkan rincian pertimbangan sebagai dasar penghentian.
LBH Makassar, tak hanya menengarai banyak yang tidak beres, juga menyebut proses penyelidikan terburu-buru dan bahkan polisi tampak terlalu gerak cepat alias gercep. “Jadi rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal," kata Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, dikutip dari Projectmultatuli.org.
Polisi akhirnya mengusut lagi dugaan pencabulan itu. Polres Luwu Timur tetap yang menanganinya, dibantu oleh Polda Sulawesi Selatan, dan diawasi oleh tim khusus dari Mabes Polri.
Segera setelah menjadi perhatian nasional dan Mabes Polri turun tangan, meski secara terbatas, terkuak satu per satu sejumlah keganjilan dalam proses penyelidikan kasus itu. Berdasarkan surat rujukan dari sebuah puskesmas di Luwu Timur, sebagaimana dikutip dari Projectmultatuli.org, tertulis diagnosis, di antaranya "internal thrombosed hemorrhoid + child abuse" (kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan persenggamaan), "abdominal and pelvic pain" (kerusakan pada organ vagina akibat pemerkosaan), dan "vaginitis atau peradangan pada vagina dan konstipasi atau susah buang air besar".
Padahal, berdasarkan hasil pemeriksaan oleh tim Forensik Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Sulawesi Selatan, tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik pada ketiga anak RS. Hasil pemeriksaan psikologis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Luwu Timur menyebutkan “tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma”.
Belakangan mengemuka juga pandangan bahwa RS mengalami gangguan jiwa alias gila. Anggapan itu mengacu pada hasil pemeriksaan psikiatri terhadap RS dari Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, pada 11 November 2019, yang menyatakan RS memiliki “gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap.”
(Tak) ramah anak
Dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak kakak-adik di Luwu Timur itu hanyalah satu dari sedikit kasus serupa yang muncul ke permukaan dan menjadi perhatian publik nasional. Kasus asusila itu, dengan terduga pelakunya ayah kandung mereka, kebetulan diadukan kepada LBH Makassar dan segera menjadi viral setelah diungkap oleh pers.
Tidak menutup kemungkinan kasus semacam itu, atau bahkan yang terkategor lebih berat, terjadi di daerah lain namun tak menemukan akses ke lembaga seperti LBH Makassar atau pers. Sebab, berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, jumlahnya mencapai ribuan setiap tahun.
Pada 2020, misalnya, selama periode 1 Januari-19 Juni, terdapat 3.087 laporan kekerasan terhadap anak yang diadukan melalui Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). Dari ribuan laporan itu, dikutip dari laman Kemenpppa.go.id, kasus kekerasan seksual di posisi tertinggi yang mencapai 1.848 kasus, disusul kekerasan fisik 852 kasus, dan kekerasan psikis 768 kasus.
Dalam periode yang sama pada tahun berikutnya, jumlah laporan itu meningkat: 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban—angka yang memperlihatkan bahwa Indonesia sebagai negeri ramah anak sangat patut dipertanyakan.
Peningkatan kekerasan seksual terhadap anak itu ditengarai dipengaruhi oleh dampak teknologi digital, misalnya paparan pornografi melalui media sosial. "Pelaku terinspirasi dari konten pornografi yang ada di medsos, internet, HP, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dunia digital saat ini memang luar biasa," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Susanto pada 26 Juli 2021.
Pemerintah, kata Susanto, sesungguhnya telah memerangi pornografi terutama di media digital termasuk media sosial dengan memblokir sumber-sumber penyebarannya. Namun pertumbuhannya yang luar biasa membuat upaya itu tak optimal mencegah paparan pornografi.