Setara Institute Soroti Lagi Dugaan Kriminalisasi Petani di Kampar
- Istimewa
VIVA – Rangkaian peristiwa terkait kepolisian mengejutkan publik mulai kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi, hingga pedagang perempuan dipukul preman jadi tersangka. Hal ini dinilai visi presisi yang diinginkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo belum bisa diterapkan sepenuhnya di level polres dan polsek.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyampaikan dengan merujuk beberapa peristiwa tersebut maka tampaknya belum sepenuhnya dipedomani jajaran kepolisian khususnya tingkat Polres dan Polsek.
“Peristiwa #PercumaLaporPolisi dan pedagang perempuan dipukul preman dan menjadi tersangka di Deli Serdang, pembiaran mafia tambang di Sulawesi Utara yang menewaskan warga, telah menggenapi berbagai peristiwa sebelumnya, utamanya terkait praktik kriminalisasi,” kata Bonar dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis, 14 Oktober 2021.
Menurut dia, visi presisi Kapolri mesti jadi acuan dari tekad Polri untuk melakukan predictive policing yang responsible, transparan dan berkeadilan. Ia bilang visi ini salah satunya diturunkan dalam bentuk pengutamaan restorative justice terkait penanganan perkara pidana tertentu.
Pun, ia menyindir visi presisi Polri juga diuji dengan kasus dugaan kriminalisasi Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) dan 2 orang petani sawit di Kampar, Riau. Status hukum mereka sudah jadi tersangka.
Menurut dia, petani tersebut padahal memperjuangkan hak 997 petani sawit atas tanah yang diduga dirampas perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang Rp150 miliar. Hal ini akibat kredit pembukaan kebun yang dilakukan oknum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V di masa lalu periode 2003-2006.
“Polres Kampar gigih mengkriminalisasi petani, tetapi abai dan menutup mata atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin," jelas Bonar.
Dia menyindir Polres Kampar yang terkesan tidak menjalankan visi Presisi Polri dan menjalankan perintah Presiden Joko Widodo terkait persoalan mafia tanah. Bagi dia, dalam kasus ini, Polres Kampar justru diduga membela korporasi dengan mengkriminalisasi petani. Perkara yang menjerat petani itu pun direkayasa.
"Polres Kampar membangkang perintah Kapolri untuk mengutamakan restorative justice atau keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan," jelasnya.
Lalu, ia menekankan dugaan kriminalisasi ini juga jadi ujian presisi Polri.
"Menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan 2 orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri," sebutnya.
Sebelumya, peneliti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Intan Bedisa meminta agar pemerintah tak menutup mata atas dugaan kriminalisasi terhadap petani di Kampar.
Menurut dia, berdasarkan surat terbuka yang diterima INFID pada 7 Oktober 2021, Kopsa-M menceritakan perjuangannya dalam pengembalian lahan kebun yang beralih kepemilikan kepada perusahaan swasta. Namun, prosesnya itu diduga melawan hukum.
Dia menekankan para petani yang merupakan masyarakat sekitar hanya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di dekat lokasi usaha perusahaan. Tapi, kegiatan petani yag menjual hasil kebunnya sendiri malah disikapi perusahaan sebagai perbuatan melanggar hukum dan diproses melalui mekanisme pidana.