Pemerintah Diminta Perhatikan Dugaan Kriminalisasi Petani di Kampar
- ANTARA FOTO/Hadly V
VIVA – Pemerintah diminta memperhatikan proses hukum terhadap dua petani sawit di Kampar, Riau yang dijadikan tersangka karena diduga menjual hasil kebunnya sendiri. Dua petani itu bagian dari anggota Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M).
Peneliti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Intan Bedisa menyampaikan agar pemerintah tak menutup mata atas konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan BUMN.
“Terdengar janggal? Sedih, namun begitu faktanya. Kita tidak boleh menutup mata atas sejumlah konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan yang beberapa di antaranya dikelola BUMN, seperti PTPN," kata Intan, dalam keterangannya, dikutip Minggu, 10 Oktober 2021.
Dia menjelaskan dalam surat terbuka yang diterima INFID pada 7 Oktober 2021, Kopsa-M menceritakan perjuangannya dalam pengembalian lahan kebun yang beralih kepemilikan kepada perusahaan swasta melalui proses yang diduga melawan hukum.
Pun, ia menambahkan, terdapat lebih dari 750 hektare kebun Kopsa-M yang telah beralih kepemilikan. Dari surat itu, Kopsa-M juga mengaku menanggung beban utang sebanyak lebih kurang Rp150 miliar akibat pembangunan kebun gagal yang dilakukan oknum-oknum PTPN V di masa lalu atau tepatnya pada 2003-2006.
"Tidak jarang konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan terjadi karena ketidakjelasan batas dan hak kepemilikan lahan. Konflik lahan ini memicu permasalahan lainnya, yaitu ketimpangan kesejahteraan," jelasnya.
Dia menekankan masyarakat sekitar hanya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di lokasi usaha perusahaan. Namun, kegiatan ini malah disikapi perusahaan sebagai perbuatan melanggar hukum dan diproses melalui mekanisme pidana.
Kemudian, ia merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranham) Tahun 2021-2025. Dalam Ranham generasi V ini, pemerintah fokus terhadap perlindungan dan penghormatan HAM kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak, hingga kelompok masyarakat adat.
Menurut dia, pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas Nasional dan Gugus Tugas Daerah yang perannya meliputi pengawasan penegakan HAM hingga level daerah.
"Artinya, kasus dugaan kriminalisasi para petani dan konflik lahan di Kampar, Riau ini wajib dikawal ketat untuk menunjukkan bahwa Ranham bukan jargon politik semata," jelasnya.
Dia mengingatkan Indonesia adalah salah satu negara yang turut menyetujui implementasi The United Nations Guiding Principles (UNGPs) mengenai HAM dan bisnis pada 2011. Maka itu, Indonesia mesti merujuk tiga pilar dalam UNGPs untuk menegakan HAM dalam bisnis.
Pilar pertama, yakni kewajiban negara untuk melindungi. Kedua, pilar tanggung jawab korporasi menghormati HAM.
“Dalam aspek ini, upaya untuk membangun komitmen dan tanggung jawab korporasi sudah mulai dibangun. Terakhir, pilar pemulihan yang efektif bagi kelompok yang terkena dampak negatif dari kegiatan usaha,” jelas Intan.
Lebih lanjut, Intan menekankan lemahnya akuntabilitas dan transparansi pengusutan dugaan kasus kriminalisasi petani oleh korporasi akan mencerminkan efektifitas penegakan HAM di Indonesia.
"Jika kasus pelanggaran HAM masa lalu belum bisa terpecahkan, setidaknya negara jangan menambah dosa pelanggaran HAM dengan mengabaikan akuntabilitas penegakan HAM dalam bisnis sesuai dengan kaidah-kaidah UNGPs dan Ranham," kata Intan.
Terkait dua anggotanya, Kopsa-M sudah membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam Mahfud Md, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Jaksa Agung St Burhanuddin. Pelapor kedua petani sawit tersebut adalah korporasi yaitu PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V.