DPR Setuju Dosen Saiful Mahdi Diberi Amnesti
- Tangkapan Layar: YouTube
VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI setuju pemberian amnesti yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap Dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh yakni Saiful Mahdi. Keputusan tersebut diambil melalui Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar mengatakan DPR telah menerima surat Presiden Jokowi pada 29 September 2021 perihal permintaan pertimbangan atas permohonan amnesti Saiful Mahdi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Maka dari itu, Muhaimin minta persetujuan para anggota dewan yang hadir terkait surat Presiden Jokowi dalam hal pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi mengingat keterbatasan waktu dan urgensi surat tersebut. Apalagi, DPR akan memasuki masa reses dalam waktu dekat.
"Sehubungan dengan keterbatasan waktu, urgensi surat tersebut dan mengingat DPR akan memasuki masa reses, saya meminta persetujan dalam rapat paripurna hari ini terhadap permintaan pertimbangan presiden kepada DPR RI tersebut. Apakah permintaan amnesti tersebut sebagaimana surpres dapat kita setujui?,” tanya Muhaimin.
Kemudian, peserta rapat paripurna yang hadir pun menyetujuinya. “Setuju,” jawab anggota yang hadir.
Setelah mendapat persetujuan, Cak Imin mengatakan DPR akan menjawab melalui surat yang ditujukan untuk Presiden Jokowi. “Selanjutnya diberi jawaban surat tertulis dari DPR RI kepada presiden," ucapnya.
Anggota DPR Fraksi PKS, Hamid Noor Yasin menyampaikan interupsi bahwa masih banyak kasus seperti yang dialami Saiful Mahdi baik yang sedang maupun telah dipidana akibat pemberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Pemerintah memang sudah berusaha mengurangi dampak overkriminalisasi dari UU ITE melalui surat keputusan bersama tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE,” jelas dia.
Namun, kata Hamid, Fraksi PKS memandang keluarnya peraturan kebijakan dalam SKB tersebut tidak memadai dalam mengatasi kelemahan dalam UU ITE. Overkriminalisasi dari UU ITE bukan semata karena kesalahan dalam penerapan UU, tapi berasal pada kelemahan substansial dalam perumusan norma atau delik dalam sejumlah pasal UU ITE yang bertentangan dengan semangat demokrasi.
“Kebebasan sipil sebagai pilar demokrasi harus ditegakkan, kebebasan dalam mimbar akademik harus dilindungi, serta kebebasan dalam menyampaikan kritik di dalam ruang publik harus dipulihkan,” katanya.