Kesedihan Anak Ceritakan Tak Boleh Lihat Jasad Jenderal Ahmad Yani
- VIVA / Willibodus (Jakarta)
VIVA – Pembunuhan Jenderal Ahmad Yani masih membekas di ingatan putra putrinya, terutama kedua putranya Untung Mufreni Ahmad Yani dan Irawan Sura Eddy. Dua saksi hidup Jenderal Ahmad Yani ditembak di rumahnya itu enggan melupakan peristiwa tragis yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Saat tim VDVC talk diajak untuk ikut menabur bunga ke makam Jenderal Ahmad Yani di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Untung dan Eddy banyak bercerita kekejaman pasukan Cakrabirawa kala itu. Secara khusus, ketika di TMP, Untung banyak bercerita sepintas tentang kejadian dini hari itu hingga ayahnya dimakamkan.
Kekejaman Cakrabirawa itu kemudian disandingkan dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September hingga 1 Oktober 1965. Peristiwa pembantaian kemudian tertulis dalam bingkai sejarah paling kelam bangsa Indonesia, yang kini disebut dengan istilah G30S/PKI. Dalam peristiwa itu, sebanyak enam jenderal dan satu perwira TNI AD gugur.
Untung mengatakan, setelah ditembak di rumahnya, Ahmad Yani saat itu masih hidup. Ahmad Yani kemudian dihabisi di dalam mobil oleh Cakrabirawa menuju tempat pembuangan di Lubang Buaya.
"Penembakan di rumah masih hidup itu, katanya. Habisnya itu di mobil, di bus yang mengangkut dia (Jenderal Ahmad Yani) ke sana, itu habisnya di jalan. Katanya masih ada teriak keluar suara dia panggil 'bapak, bapak, bapak'. Jadi enggak tahu dia manggil bapak siapa, kita enggak tahu. Apakah bapak Soekarno atau bapaknya sendiri. Sama Presiden Soekarno kan dekat sekali loh," katanya, seperti dikutip dari kanal YouTube VDVC talk, Rabu 6 Oktober 2021.
Dua hari setelah Ahmad Yani ditembak dan dibawa pergi oleh pasukan Cakrabirawa, anak-anaknya dikumpulkan oleh sang istri dan menyampaikan, bahwa ayah mereka sudah tidak ada lagi. Sebab, berita keberadaannya pun masih simpang siur.
"Tanggal 3 Oktober ibu sudah bilang bapak kamu sudah enggak ada. Karena beritanya ada yang bilang ada di Istana, terus ada di mana lagi gitu. Jadi kita di rumah cuman diam-diam aja, engak bisa bikin macam-macam," ujar Untung.
Untung melanjutkan, bahwa pemakaman Jenderal Ahmad Yani baru dilakukan pada 5 Oktober, setelah jazadnya ditemukan di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965. Malam setelah ditemukan, keluarga diminta ke Markas Besar TNI AD (Mabesad) untuk jenazah Ahmad Yani.
"Tanggal 4 Oktober menjelang malam, kita diperintahkan untuk ke Mabesad untuk lihat jenazah, tapi jenazahnya udah enggak kelihatan lagi, di dalam peti. Udah bau jadi ditutup. Waktu di RSPAD juga kita enggak lihat juga, cuman kita lihatnya hanya peti dan kita yakin bahwa ayah kita ada di situ," lanjut dia.
Bahkan, istri Jenderal Ahmad Yani, Yayu Rulia Sutowiryo pun tak sempat melihat suaminya itu direnggut nyawanya hingga dimakamkan. Yayu hanya meminta potongan rambut suaminya itu. Potongan rambut itu kemudian selalu dibawa oleh Yayu.
"Setelah wafat, ibu juga tidak dikasih liat jenazahnya. Ibu hanya minta tolong dipotongin rambutnya bapak. Itulah yang dibawa ke mana-mana sama ibu," kisah untung.
"Ibu terakhir enggak lihat, karena terakhir itu ibu pamitan sama bapak sekitar jam 10 malam menuju ke Taman Senopati, di Taman senopati kan itu rumah dinas juga. Kemudian ibu saya ulang tahun tanggal 1 Oktober, jadi orang jawa itu biasanya terakota. Jadi ibu saya pergi sama temannya dan beberapa orang ajudan serta pengawal yang biasanya melekat di bapak," sambungnya.
Saat berdiri di depan makam Ahmad Yani, Untung pun bercerita kembali ke belakang, saat terakhir ia melihat ayahnya masih dalam keadaan bugar dan sehat. Dia menguraikan, bahwa pada malam 30 September, Ahmad Yani masih menerima tamu seorang kolonel dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Jenderal Basuki Rahmat, yang saat menjabat sebagai komandan divisi di Jawa Timur.
"Kita lihat bapak itu terakhir jam 10 atau 11 (malam) sehat enggak sakit, masih terima tamu. Habis itu kita enggak lihat lagi. Kebetulan malam itu saya sama Eddy enggak tidur sama bapak, biasanya berempat, yaitu ibu, bapak, saya dan Eddy. Kalau perempuan berenam kan di kamar masing-masing," urainya.
Momen-momen itulah yang terakhir kalinya dilihat anak-anak Jenderal Ahmad Yani sebelum dihabisi. Kedua putra Ahmad Yani juga berupaya menguatkan dirinya saat melihat makam ayahnya. Mereka tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan menganggap semua yang terjadi adalah malapetaka yang bisa datang kapan saja.
Saat itu, Untung masih berusia 11 tahun dan Eddy berusia 7 tahun. Di usia seperti itu, kisah kebersamaan mereka bersama sang ayah tak begitu banyak.
"Terus terang kita tidak boleh sedih. Itu memang sudah datang sendiri gitu. Doa saya ya supaya ayah kami diterima di alam yang lain gitu," ungkap Untung.