HMI Minta RI Tak Akui Laporan China Terkait Populasi Uighur

Ormas Islam menggelar aksi demonstrasi bela Uighur di depan Kedubes China.
Sumber :
  • VIVAnews/ Bayu Januar.

VIVA - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam meminta dunia internasional khususnya Indonesia untuk tidak mengakui buku putih terkait populasi muslim Uighur yang diterbitkan China. Mereka menilai buku tersebut dikeluarkan negeri tirai bambu untuk menutupi kejahatan kemanusiaan dan aksi genosida terhadap etnis Uighur.

Media AS Sebut Peretas China Sadap Telepon Pengacara Trump

“Ini kan propaganda China. Buku putih jelas kebohongan besar mereka untuk menghilangkan sejarah kelam dan catatan berdarah kebrutalan China dalam menghapus etnis Uighur dari peradaban umat manusia,” kata PJ Ketua Umum PB HMI, Romadhon JASN, kepada wartawan, Selasa, 5 Oktober 2021.

Dari berbagai informasi yang diperoleh PB HMI, Romadhon mengatakan pemerintah China sengaja memilih bungkam dan menyembunyikan data serta dokumen jatuhnya tingkat pertumbuhan penduduk Uighur tahun 2017 hingga 2020, dengan menyajikan semua data dalam satu blok yang mencakup periode tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi dalam pada periode 2010-2016.

Pemerintah China Berusaha Melakukan 'Konfuniasisasi' Islam di Tiongkok?

“Bagaimana bisa dipercaya, wong datanya nggak ada. Cara-cara China (menyembunyikan data) hanya ingin meyakinkan dunia bahwa mereka tidak mencegah kelahiran dalam kelompok pribumi muslim Uighur,” kata Romadhon.

Baca juga: Pemerintah RI Diminta Ikut Lindungi Muslim Uighur di Afghanistan

Tisu Mice Berubah Jadi Nano, Intip Strategi Azkia Diva Hadapi Gempuran Banjirnya Produk China

Buku putih ini terbit hanya beberapa hari setelah pemerintah AS mengatakan bahwa kamp-kamp yang didirikan pemerintah ini dijalankan mirip dengan model operasi "kamp konsentrasi" tempat berjalannya program yang bertentangan dengan HAM seperti penyiksaan, kerja paksa dan sterilisasi paksa wanita Uighur untuk melemahkan populasi Uighur di Xinjiang.

“Kami yakin pemerintah kita khususnya bapak Presiden Joko Widodo, mampu membujuk China untuk menyudahi aksi genosida terhadap muslim Uighur,” kata Romadhon.

Pelanggaran HAM

Beijing telah lama dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis muslim Uighur dan menempatkan mereka di dalam kamp. Pemerintah China pun menghadapi tekanan internasional utamanya di bidang perdagangan dan perjanjian investasi.

Produsen pakaian ternama asal Swedia yakni H&M telah mengakhiri hubungan dengan produsen benang asal China atas tuduhan "kerja paksa" di Xinjiang, yang merupakan daerah penanaman kapas terbesar di China.

Tidak hanya dari Swedia, Bea Cukai Amerika Serikat mengatakan akan melarang masuk sejumlah produk China yang berasal dari Xinjiang karena kekhawatiran akan adanya kerja paksa.

AS menuduh China melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena menjalankan kampanye penahanan massal, penindasan, dan sterilisasi terhadap Uighur dan sebagian besar etnis minoritas muslim lainnya.

Laporan yang tak terhitung jumlahnya telah merinci tahanan yang mengalami penyiksaan, aborsi paksa, serta pendidikan ulang dalam apa yang digambarkan oleh mantan menteri luar negeri Mike Pompeo sebagai "asimilasi paksa dan akhirnya penghapusan" orang Uighur oleh pemerintah China.

“Sudahlah, stop kekejian terhadap muslim Uighur. China jangan terus mengelak dan hambat penyidikan yang dilakukan Komisaris Tinggi HAM PBB atau organisasi HAM independen internasional di Xinjiang,” kata Romadhon.

China meluncurkan membantah fakta dan bukti genosida terhadap muslim Uighur, dan melakukan beberapa langkah terhadap kebijakan otoritas bea cukai Barat untuk memblokir produk Xinjiang yang diduga diproduksi dengan kerja paksa.

Akan tetapi, seiring dengan upaya China menstrerilkan image mereka sebagai algojo jutaan muslim Uighur, berbagai dokumen, foto dan video terkait aksi genosida yang dilakukan oleh negeri panda ini, beredar luas di publik.

Akibatnya, semakin banyak negara-negara di dunia yang ikut menentang perlakuan China terhadap muslim Uighur.

“Coba bayangkan, negara zionis Israel yang dikenal berseberangan dengan umat muslim, ikut mengecam apa yang mereka sebut penindasan China terhadap komunitas Uighur,” kata Romadhon.

Israel menandatangani pernyataan bersama yang disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), yang mendesak China untuk mengizinkan pengamat independen mengakses wilayah Xinjiang barat.

Pernyataan bersama ini juga didukung oleh Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Spanyol dan AS, di mana negara-negara tersebut mengutip laporan tentang penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, sterilisasi paksa, kekerasan seksual dan berbasis gender dan pemisahan paksa anak dari orang tuanya.

“Laporan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa lebih dari satu juta orang telah ditahan secara sewenang-wenang di Xinjiang, ada pengawasan luas yang secara tidak proporsional menargetkan orang-orang Uighur dan pelanggaran berat HAM yang menjurus pada genosida,” kata Romadhon.

Buku Putih

Baru-baru ini, otoritas Pemerintah Tiongkok meluncurkan buku putih pertumbuhan penduduk di Xinjiang sejak 1949, untuk membantah serangkaian laporan tentang penahanan massal, pengendalian kelahiran paksa, dan kebijakan China lainnya untuk mengurangi proporsi orang Uighur di wilayah tersebut.

Buku putih penduduk Xinjiang dari Kantor Informasi Dewan Negara China, muncul di tengah upaya kuat Tiongkok untuk menghindari pengawasan dan kecaman atas serangkaian pelanggaran yang terdokumentasi di wilayah tersebut, termasuk kamp interniran massal, serangan seksual, aborsi paksa, dan kerja paksa.

Distorsi sentral dari buku putih adalah klaim bahwa populasi Uighur di Xinjiang meningkat dari 2010 hingga 2020 yang mengabaikan penurunan tingkat pertumbuhan populasi dari 2017 dan seterusnya, ketika kelahiran Uighur ditekan secara brutal, tulis Rian Thum, seorang sejarawan Islam di China dan Uighur.

“Jadi mereka menyembunyikan jatuhnya tingkat pertumbuhan penduduk Uyghur 2017-2020 dengan menyajikan semua data dalam satu blok yang mencakup periode tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi (2010-2016). Mereka tidak pernah mengatakan apa yang terjadi antara 2017 dan 2020," kata Thum seperti dilansir dari Radio Free Asia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya