Alasan Pentingnya Standar Penilaian Aset Cagar Budaya di Indonesia

Petugas keamanan berjaga di kompleks wisata Candi Plaosan di Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Rabu, 12 Mei 2021.
Sumber :
  • ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

VIVA – Ribuan cagar budaya Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke hingga saat ini belum pernah dilakukan penilaian aset bangunannya. Hal ini karena belum ada standar penilaian bangunan cagar budaya.

Persoalan Bangunan Tugu Hotel Tua Jakarta Disorot, Ini Alasannya

Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung masalah perhitungan bangunan cagar budaya yang merupakan aset negara. Dia menuturkan dari ribuan triliun aset negara, cagar budaya belum pernah dimasukkan ke dalamnya lantaran belum ada standarisasi penilaiannya.

Untuk menjawab permasalahan ini, Dewan Pimpinan Daerah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) DIY menggelar program profesi lanjut (PPL) terkait Penilaian Bangunan Cagar Budaya.

Hilmar Farid: PR Kita Masih Banyak Terutama Soal Perlindungan Cagar Budaya

Ketua DPD MAPPI DIY periode 2017-2021, Uswatun Khasanah mengatakan bahwa pihak mengadakan program ini untuk membantu merumuskan penilaian tersebut. Program profesi lanjut (PPL) terkait Penilaian Bangunan Cagar Budaya, kata Uswatun, diikuti oleh 380 peserta dari seluruh Indonesia.

"Belum ada. Standar penilaian bangunan cagar budaya itu belum ada. Selama ini, kami hanya menghitung luas tanahnya saja. Nah, di Musda DPD MAPPI DIY yang ketiga ini, kami juga membuka wacana untuk mempelajari tentang penilaian bangunan cagar budaya," ujar Uswatun, Sabtu 25 September 2021.

KCBN Muaro Jambi Bangkit! Revitalisasi Jaga Alam dan Lingkungan

Uswatun mencontohkan bangunan seperti Candi Prambanan selama ini yang dinilai baru tanah dan bangunan kantor di atasnya. Sedang, untuk bangunan candinya sendiri belum pernah dihitung nilainya.

Alasannya, lanjut Uswatun arena belum ada format baku untuk penilaian bangunan cagar budaya di Indonesia. Padahal, negara tetangga, seperti Malaysia atau Australia sudah lama menerapkan.

Dia menjelaskan dari pengalaman di Malaysia, Uswatun mengatakan penilaian aset bangunan cagar budaya di antaranya ditentukan faktor historis, struktur bangunan, keuangan, ekonomi hingga lokasi.

"Karena itu dalam PPL ini mencoba ilmu baru dan best practice dengan mengundang pembicara dari para ahli, termasuk dari Malaysia," ujarnya.

Uswatun mengatakan paradigma tentang penilaian bangunan cagar budaya perlu mulai digaungkan. Di antaranya, karena masih ada sebagian kalangan yang beranggapan penilaian aset yang diwujudkan dalam nilai rupiah, sama dengan hendak menjual bangunan. 

Padahal, fungsi penilaian aset juga bisa dimasukkan sebagai laporan keuangan juga untuk optimalisasi aset.

"Siapa juga yang mau beli candi. Perhitungan ini bisa dimanfaatkan untuk optimalisasi aset. Ini baru pertama kali diskusi penilaian bangunan cagar budaya diselenggarakan, masih belum masuk ranah best practice dan masih wacana," tuturnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya