Jaksa Agung ST Burhanuddin Dikukuhkan Sebagai Profesor Hukum Pidana

Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro

VIVA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin atau yang lebih dikenal sebagai ST Burhanuddin dikukuhkan menjadi profesor dalam bidang ilmu hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, pada Jumat, 10 September 2021.

Prabowo Heran Profesor Tak Setuju Program Makan Bergizi: Ini Pintar atau Bodoh?

Pengukuhan tersebut berdasarkan pada keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makariem, Nomor 37421/MPK.A/KP.05.00/2021 tentang pengangkatan dalam jabatan akademik dosen tidak tetap.

Surat keputusan itu menyebutkan bahwa terhitung mulai 1 Juli 2021, pria kelahiran Cirebon, 17 Juli 1959, itu diangkat dalam jabatan profesor, bidang ilmu keadilan restoratif. Keputusan itu ditetapkan di Jakarta pada 11 Juni 2021.

Temukan Dugaan Pungli Mesin Pertanian hingga Pupuk Palsu, Mentan Lapor Jaksa Agung

Dalam forum sidang senat terbuka di Auditorium Graha Widyatama Unsoed, Burhanuddin menyampaikan orasi ilmiah berjudul "Hukum berdasarkan hati nurani, sebuah kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif."

Baca juga: Jaksa Agung Minta Para Jaksa Tak Asal-asalan Lakukan Penuntutan

Parlemen Israel Akan Pecat Jaksa Agung Perempuan

Burhanuddin mengatakan masyarakat masih melihat bahwa hukum bagaikan pisau tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Banyak dari penegakan hukum di Indonesia, justru menciderai rasa keadilan masyarakat.

"Hal ini utamanya terjadi ketika terdapat suatu peristiwa tindak pidana yang pelakunya adalah masyarakat kecil dan perbuatan pidananya dianggap tidaklah pantas atau tidak adil kalau dibawa ke pengadilan," kata Burhanuddin.

Dia mengungkapkan beberapa kasus yang menarik perhatian masyarakat adalah kasus nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao kemudian divonis 1 bulan dan 15 hari, dengan masa percobaan selama 3 bulan. Lalu kasus kakek Samirin yang divonis bersalah 2 bulan 4 hari penjara karena mencuri getah karet yang harganya sekitar 17 ribu rupiah.

"Tentunya dari kasus nenek Minah dan kakek Samirin telah mengusik rasa keadilan banyak pihak," katanya.

Burhanuddin melanjutkan banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan di mana letak hati nurani aparat penegak hukum yang tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak berat.

"Apakah semua perbuatan pidana harus berakhir di penjara? Dan masih adakah keadilan di negeri ini?" katanya lagi.

Hati Nurani

Burhanuddin menyatakan kegelisahan tersebut yang perlu ditinjau lebih dalam. Mengutip pendapat salah satu pakar hukum, Gustav Radbruch, dia menyampaikan tujuan hukum ada tiga yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Dari tiga nilai tersebut, kata dia, perlu digunakan asas prioritas. Hal itu disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitu juga sebaliknya.

"Pada saat terjadi benturan maka akan ada nilai-nilai yang dikorbankan," katanya.

Ia menambahkan ketiga tujuan itu dapat tercapai dalam suatu keseimbangan. Untuk mencapai keseimbangan yang hakiki maka tidak dapat dilepas kan dengan nilai-nilai luhur dalam suatu bangsa yang di Indonesia adalah Pancasila.

"Pancasila sebagai norma dasar negara sehingga setiap norma hukum yang menjadi deviratifnya harus menjadikan Pancasila sebagai sumber dasar filosofinya," ujarnya.

Burhanuddin menuturkan sistem hukum berbasis Pancasila merupakan cerminan dari jiwa bangsa yang lebih mengedepankan nilai-nilai moral, kekeluargaan, keserasian, keseimbangan, musyarawah, keadilan sosial. Apabila setiap penegak hukum memahami dan menanamkan dengan baik nilai-nilai Pancasila di dalam hati nuraninya, ia meyakini setiap pemikiran, sikap, perilaku yang diambil akan senantiasa berkiblat pada rasa kemanusiaan.

"Rasa kemanusiaan ini adalah yang menjadi pranata dan pencapaian tujuan utama hukum yaitu keadilan," katanya.

Dengan menyerap hukum yang hidup di dalam masyarakat, yang penuh dengan muatan nilai-nilai moral sebagai refleksi dari budaya masyarakat, tambah Burhanuddin, maka akan terjadi pergeseran paradigma hukum dari keadilan restriburtif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif atau pemulihan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya