Aktivis Tulis Kritik Lewat Mural: di Medsos Takut UU ITE
- VIVA/Sherly
VIVA – Mural yang berisi kritik sosial menjamur di sejumlah fasilitas publik. Beberapa diantaranya berisi kritikan pedas kepada pemerintah atas penanganan COVID-19 dan penderitaan rakyat imbas kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah. Kritik atas fenomena sosial yang terjadi itu pun menuai respon aparat.Â
Selain pembuat muralnya diburu Polisi dan Satpol PP, karya seni di ruang-ruang publik pun terpaksa dihapus. Seperti murah wajah mirip Presiden Jokowi di Tangerang 'Jokowi 404: Not Found'; Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit di Pasuruan; Tuhan Aku Lapar di Tangerang. Mesti pemural tidak dijerat pidana, tapi respon aparat ini jadi sinyal pemerintah 'gerah' dengan kritik melalui mural.
Mahasiswa yang juga pemural, Gusman Maulana Sidik mengatakan fenomena mural yang terjadi belakangan ini karena ada pergeseran media kritik di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Mural berisi kritik sosial sering ditemui di beberapa fasilitas publik, tiang jalan protokol atau kolong jembatan.
"Kenapa bergeser di fasilitas publik? Karena kita tahu ada Undang-Undang ITE, dimana UU ITE bikin kita takut juga, ada beberapa aktivis senior dan mahasiswa dengan adanya UU ini ditangkap," kata Gusman dalam diskusi virtual 'Fenomena Mural Ekspresi Keresahan Dalam karya Seni', Minggu, 5 September 2021.
Mahasiswa asal Bandung itu menyebut penyampaian kritik melalui di media sosial tak selamanya aman, sebab akan banyak muncul intepretasi dan reaksi beragam. Belum lagi maraknya fenomena peretasan, pihak pengkritik justru menjadi sasaran aksi peretasan, personalnya diserang, data pribadi diekspose hingga serangan buzzer.
"Padahal harusnya pemerintah melindungi data pribadi masyarakat, tapi diretas, ditangkap. Alasan kenapa masyarakat-mahasiswa balik lagi ke mural karena di media sosial sudah tidak aman," ujar Gusman yang pernah diamankan 'nyantri' di sel Polrestabes Bandung gara-gara demo Omnibus Law.
Ia menyadari mural yang berisi kritik sosial itu juga punya konsekuensi hukum. Apalagi, aksi coretan seni itu ditulis atau digambar di fasilitas publik. Tapi, Gusman meyakini pesan dalam mural-mural tersebut merupakan kegelisahan masyarakat atas situasi pemerintahan saat ini. Begitu adanya dan tidak bisa ditutupi.
"Sebenarnya bikin mural ini ngeri-ngeri sedap, karena takut juga. Tapi karena mahasiswa harus adil sejak dalam pikiran dan perbuatan, saya mewakafkan diri untuk menulis, karena di beberapa tempat sudah ada menulis masa Bandung enggak? Itu kenapa saya mau menulis mural di fasilitas publik," paparnya.
Sementara soal reaksi aparat yang menghapus mural-mural tersebut karena dinilai provokatif, Gusman justru menganggap para aparatur negara itu gagal paham dengan makna dari mural yang dibuat mahasiswa dan masyarakat.
"Kalau dianggap provokatif, kebencian, ini kan enggak juga, apalagi pemerintah sendiri gagal paham, itu lambang negara menurut pasal 36A dan pasal 2 UUD 45 bahwa lambang negara kan Garuda Pancasila, Bendera, Bahasa, Bhinneka Tunggal Ika dan lagu Kebangsaan," ungkap Gusman.
"Pemerintah begitu takut terhadap kritikan, kita akan berjuang apapun caranya kritikan itu akan terus dilakukan teman-teman mahasiswa dan masyarakat, kita tidak akan diam," imbuhnya.
Sebelumnya, Deputi IV Kepala Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro merespons sejumlah karya seni dalam bentuk mural yang memperlihatkan kritik ke pemerintah dan Presiden Joko Widodo tersebut.
Baginya, jika kritik dimaknai sebagai bagian demokrasi, maka tidak tepat mengabaikan elemen-lemen yang mendasarinya. Ia menyebut, diantaranya kepatuhan hukum, etika, dan estetika demi menjaga ketertiban sosial.
Ia memberi kebebasan berpendapat setiap hak warga negara, termasuk mengungkapkan ekspresi dalam bentuk mural. Namun yang perlu diingat, kata mantan pimpinan KPU itu, adalah mengungkapkan ekspresi juga demi membangun optimisme dan penuh keadaban dalam berdemokrasi.
"Mural-mural yang sengaja ditebarkan yang baru-baru ini menyerang Presiden Jokowi Widodo adalah cermin dari perbuatan yang justru keluar dari ketiga unsur tersebut, karena mengganggu ketertiban sosial dan kepatuhan hukum, minim nilai-nilai etika dan estetika," kata Juri dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 September 2021.
Menurutnya, kritik yang baik adalah memberi solusi atas berbagai permasalahan pada objek kritikan. Berulang kali Presiden Jokowi mengatakan, sampaikan kritik secara terbuka kepadanya.
Kendati demikian, manan tidak ada yang salah dengan kritikan yang dibangun lewat mural. Hanya memang perlu mempertimbangkan nilai-nilai lain seperti estetika di ruang publik.