Kisruh DPRD Humbang Hasundutan Berlarut-larut, Masyarakat Resah

Fakta konstelasi politik pilkada Humbang Hasundutan
Sumber :
  • Screenshot PPT Materi Jefri Ardiansyah

VIVA – Mosi tidak percaya yang dilayangkan 15 orang anggota DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara (Sumut) menjadi sorotan publik setelah sejumlah pembahasan raperda gagal lantaran rapat-rapat yang tidak bisa kuorum. Masalah ini dianggap berlarut-larut akibat kurangnya perhatian kepala daerah setempat dan pimpinan partai politik yang memiliki representasi mereka di DPRD.

Prof Ikrar: Tanpa Keberanian Rakyat Takkan Ada Perubahan, Lawan Pengerahan Aparat di Pilkada Sumut

Keresahan ini kemudian diangkat menjadi diskusi webinar yang diadakan oleh Aliansi Masyarakat Kampus (AMK) Humbang Hasundutan dengan topik "Kisruh DPRD Humbang Hasundutan Siapa yang Bertanggung Jawab?" pada Sabtu, 4 September 2021.

Diskusi webinar via Zoom Meeting ini dihadiri antara lain para tokoh masyarakat Humbang Hasundutan, para politisi lokal, peneliti dan pengamat, aktivis hingga mahasiswa dan unsur kampus di wilayah tersebut.

Visi Misi Pro Rakyat, Agustiar-Edy Punya Dukungan Besar untuk Menangkan Pilgub Kalteng

Tokoh Humbahas yang jug mantan Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Aduhot Simamora yang hadir dalam diskusi menilai, kisruh DPRD tersebut tak selayaknya dibiarkan berlarut-larut. Apalagi ihwal mosi tidak percaya sebenarnya hanya persoalan politik yang bisa dijembatani. Langkah ini bisa diambil oleh bupati Humbahas yang diketahui dalam pilkada lalu didukung semua partai politik dan melawan kotak kosong.

"Sebenarnya kalau bupati mau bisa selesai masalah ini," kata Aduhot dalam webinar tersebut.

Bupati Kepulauan Seribu Junaedi Meninggal Dunia

Dia menyayangkan kisruh DPRD pada akhirnya berujung pada gagalnya pengesahan 3 raperda. Padahal perda itu penting disahkan untuk berjalannya program pembangunan di Humbang Hasundutan yang masih amat buruk dalam hal infrastruktur.

"Begitu banyak kita lihat yang mau membawa ke rumah sakit sampai harus ditandu. Padahal misal kalau ada SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) Rp170 miliaran, Rp100 miliar saja dipakai untuk infrastruktur jalan-jalan di desa sudah bisa," lanjutnya.

Namun sayangnya hal tersebut tak bisa dilakukan karena Perda APBD 2021 tidak ada.

Diketahui 14 anggota DPRD dari 25 anggota DPRD Humbang Hasundutan melakukan boikot dan mosi tidak percaya terhadap Ketua DPRD Ramses Lumbangaol. Mosi dilakukan dengan alasan Ketua DPRD tersebut arogan dan otoriter. Belakangan bertambah menjadi 15 orang. Hal itu mereka layangkan setelah hak reses dan biaya kunjungan kerja ke konstituen dibekukan oleh Ketua DPRD.

Adapun para anggota DPRD yang melakukan mosi tidak percaya disebut berasal dari Fraksi Golkar, Hanura, NasDem, Gerindra dan Demokrat. Sayangnya hingga saat ini Ketua DPRD Ramses Lumbangaol memang belum memberikan penjelasan resmi mengenai dicabutnya hak reses para legislator daerah itu.

Menanggapi hal ini, pengamat Parlemen dari Formappi Lucius Karus menjelaskan bahwa seringnya kisruh dan perpecahan terjadi di parlemen tak lepas dari bagi-bagi kepentingan yang belum selesai. Hal tersebut tak melulu soal uang namun juga bisa hal lain. Dia juga menilai adanya boikot yang dilakukan 15 dari 25 orang akan memberikan dampak besar. Angka itu akan berpengaruh pada kuorum rapat hingga pengesahan tugas-tugas wakil rakyat. Pada akhirnya rakyat yang jadi korban.

"Kengototan atas sebuah perjuangan memang perlu besar namun untuk rakyat seharusnya bisa lebih lentur kan bisa dilakukan lobi-lobi dan lainnya," kata Lucius dalam diskusi itu.

Sementara peneliti politik dari Populi Center Jefri Ardiansyah menyoroti fenomena politik kartel yang cirinya tampak di peta politik Humbang Hasundutan. Salah satunya adalah cuma ada satu calon di Pilkada Humbang Hasundutan.

"Ada arah ke sana," kata Jefri perihal fakta politik di kabupaten tersebut.

Senada dengan Lucius, pada persoalan kisruh DPRD dan eksekutif yang cenderung abai maka memang lagi-lagi masyarakat yang akan jadi korban. Para elite ibarat saling mengunci sehingga mekanisme pemerintahan yang seharusnya berjalan jadi tersendat.

"Yang bertanggung jawab adalah oknum yang membuat sense of rules ini jadi tidak berjalan," kata dia lagi.

Dalam forum diskusi online ini berbagai pendapat pro dan kontra mengemuka. Ada pihak yang menilai bahwa para anggota DPRD yang melakukan mosi tidak percaya memang berhak melakukan hak politik mereka. Mereka juga perlu mendapatkan penjelasan dari ketua DPRD.

Namun ada juga yang menilai bahwa perilaku tersebut justru menjadi cerminan bahwa para wakil rakyat ini tidak mumpuni dalam berpolitik alih-alih memikirkan kepentingan para konstituen, rakyat yang seharusnya mereka wakili.

Aktivis, putra daerah yang juga pemerhati Humbang Hasundutan Ebenezer Sihite dalam forum itu menilai harus ada langkah konkret agar kisruh ini bisa selesai. Oleh karena itu menurut dia, para elite yang berkonflik harus didesak agar menyelesaikan konflik internal mereka demi kemaslahatan publik.

Dia juga menilai bahwa kisruh ini bisa jadi acuan bagi warga Humbang Hasundutan untuk memilih calon pemimpin dan para anggota DPRD ke depan. Menurut dia, wakil rakyat yang tak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik maka seharusnya tak dipilih kembali.

"Saya menyalahkan yang 25 orang bukan hanya yang 15 orang ini, kasihan rakyatnya," kata Ebenezer.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya