Kata Ketum Muhammadiyah Soal Rencana Amandemen UUD 1945

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir.
Sumber :
  • VIVA/Cahyo Edi

VIVA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyoroti rencana amandemen UUD 1945 dengan menyertakan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Menurut dia, sebaiknya rencana ini dipikirkan dengan bijaksana.

Bela Jokowi, Rampai Nusantara Tak Sependapat Dengan Hasto Soal Kriminalisasi Terhadap Anies

“Ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik,” kata Haedar saat konferensi virtual pada Senin, 30 Agustus 2021.

Ia mengatakan harusnya belajar dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang asli.

Eks Wantimpres Kecewa, Bilang Harusnya Jokowi Jadi Negarawan saat Pilkada

Baca juga: Jokowi Lanjutkan PPKM hingga 6 September, Solo dan Malang Raya Level 3

Jangan sampai, kata dia, di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998.

Jokowi Bertemu Kiai Khos NU Jawa Tengah di Solo Jelang Pencoblosan Pilkada, Ada Apa

“Serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam,” ujarnya.

Oleh karena itu, Haedar mengatakan disinilah pentingnya hikmah kebijaksanaan para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman.

“Indonesia yang bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang bernyawa. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!,” jelas dia.

Sebelumnya diberitakan, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan memang amandemen UUD 1945 terbatas ini sempat menjadi polemik, terutama terkait masa jabatan Wakil Presiden RI. Itu juga yang dikhawatirkan oleh Presiden Jokowi, yang tidak ingin amandemen ini justru melebar soal periodesasi menjadi tiga periode.

"Kekhawatiran itu justru datang dari Presiden Joko Widodo. Beliau mempertanyakan apakah amandemen UUD NRI 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodesasi Presiden dan Wakil Presiden menjadi tiga periode? Saya tegaskan kepada Presiden Jokowi, sesuai dengan tata cara yang diatur di Pasal 37 UUD NRI 1945 sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi melebar," kata Bamsoet.

Sementara Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebut pemerintah tidak ikut campur mengenai persoalan amandemen UUD 1945 yang beberapa waktu lalu digulirkan Ketua MPR RI.

"Pemerintah ini tak ikut campur urusan itu (amendemen UUD 1945)," kata Mahfud pada Kamis, 26 Agustus 2021.

Mahfud menegaskan, pemerintah tidak menyatakan setuju atau sebaliknya terhadap amendemen. Sebab, perubahan UUD 1945 tidak membutuhkan persetujuan pemerintah. “Itu tidak perlu persetujuan pemerintah," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, perubahan konstitusi adalah wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mewakili seluruh rakyat. Untuk menampung aspirasi rakyat, konstitusi menyediakan lembaga seperti partai politik, DPR, DPD, dan MPR.

Mahfud menjelaskan, dalam persoalan ini pemerintah hanya menyediakan lapangan politik dan jaminan keamanan sidang DPR dan MPR. 

“Silakan sampaikan ke sana kita jaga, kita jamin agar itu diolah. Silakan DPR, MPR akan bersidang kita amankan. Itu tugas pemerintah," kata Mahfud.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya